Porter Guide Lamuk Gajah Mungkur, Gunung Sumbing Dengan Savana Yang Memanjakan Mata
Informasi Pendakian Gunung Sumbing Via Lamuk Gajah Mungkur dapat menghubungi +62 85 643 455 685.
Mendaki gunung Sumbing, via Lamuk
Barangkali mendaki gunung saat ini menjadi mainstream karena setiap kemarau makin banyak yang menjadi pendaki dadakan. Mungkin termasuk saya.
Ah… tapi saya mendaki bukan karena ikut tren, saya memang punya impian untuk mendaki gunung sejak dulu. Dan impian yang diniatkan dengan sungguh-sungguh akan bertemu dengan jalannya. Saya bahkan tidak percaya kali kedua mendaki bisa mendaki gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah, yaitu gunung Sumbing.
Berawal dari teman sekamar saya, Ella, yang memberitahu bahwa ia diajak naik gunung Sumbing oleh temannya tanggal 17 Agustus. Saya yang awalnya ragu-ragu akhirnya memutuskan untuk ikut bergabung.
Tanggal 16 Agustus, sepulang kerja saya ikut pulang bersama Ella ke Temanggung.
Tanggal 17 Agustus, sekitar pukul dua siang saya dan Ella menuju rumah Irma, di Tlogomulyo, Temanggung. Dia adalah teman Ella yang mengajak melakukan pendakian ini.
Di sana sudah ada Anita, Salamah dan Karim. Saya menunggu teman lainnya sambil tiduran. Hingga muncul anggota satu persatu. Romly, Mukarom, Saiful, Shobirin dan Amru. Oh.. dan ditambah Putra, adik Irma. Pukul setengah tujuh kami berangkat ke basecamp. Kami juga menjemput teman lain yang ingin ikut, Tian, Tio, Novri dan Dicky. Kalian tahu siapa Dicky? Anak kelas 3 SD, umur sembilan tahun dan ini kedua kalinya dia mendaki Gunung Sumbing. Saya cuma bisa melongo keheranan melihat dia. Hahaha.
Dalam pendakian ini saya merasa aman karena ada teman yang telah berulangkali ke Sumbing. Serasa ada guidenya. Kami memilih basecamp via Lamuk karena paling dekat dengan rumah Irma dan juga paling cepat dibanding via Banaran atau Garung. Singkat cerita setelah sampai basecamp, kami mempersiapkan perlengkapan mendaki dan membayar retribusi sebesar limabelas ribu per orang lalu kami diantarkan ke dekat pos satu dengan mobil pick up.
Naas, belum sampai tempat tujuan, ban mobil malah bocor sehingga kami harus berjalan dari tempat tersebut.
Di tas saya waktu itu ada dua botol air mineral ukuran 1.5 Liter, sandal gunung dan makanan. Sampai pos satu saja nafas saya sudah tersengal-sengal, detak jantung tidak karuan, saya sempat pesimis, tapi saya sadar teman saya yang lain pasti juga mengalami hal serupa. Bahkan ada yang membawa enam botol air mineral di tasnya ditambah sleeping bag dan matras. Sumpah, saya tidak bisa membayangkan rasa beratnya. Akhirnya saya menguatkan diri lagi.
Pos satu menuju pos tiga memakan waktu sangat lama. Mungkin sekitar tiga jam lebih. Dengan jalur yang konsisten naik. Pantas menjadi jalur paling cepat. Di jalan kami tidak sempat bercanda karena beban yang berat, dan nafas yang susah diatur. Sejujurnya mengatur nafas adalah hal yang terberat bagi saya. Nampaknya latihan fisik saya kurang maksimal. Latihan fisik sebelum mendaki sangat diperlukan terutama kardio agar mudah mengatur nafas, seperti jogging dan berenang. Jangan asal berangkat bermodal nekat.
Kami berulang kali beristirahat dan agak sedikit lega karena perjalanan dari pos tiga terdapat jalur landai. Kami beristirahat kembali saat sampai di pos tiga jalur Banaran yang ternyata sudah banyak tenda berdiri.
Dari pos tiga jalur banaran ke Watu ondo adalah jalur yang menyebalkan. Jalur tanpa kontur yang berdebu dan longsor. Jalur ini menyebabkan orang mudah terperosok karena kita tidak punya pijakan, pijakannya ya tanah yang longsor yang memadat karena berat badan. Untung saja di jalur ini banyak terdapat semak dan pohon di kanan kiri jadi tiap merasa akan terpeleset berpeganglah saya pada mereka.
Semakin naik angin mulai terasa, istirahat pun dipercepat agar tidak kena hipotermia. Tiap istirahat saya menyempatkan diri makan sesuatu agar tubuh punya bahan bakar untuk bermetabolisme.
Sekitar pukul satu malam tibalah kami di Watu Ondo yang fenomenal. Apa itu? Ya batu tapi besar dengan kemiringan 80°, yang naiknya harus pakai rantai dan tali seperti panjat tebing. Dengan samping kanan dan kiri jurang. Aslinya saya ketar-ketir waktu itu, apalagi malam kan ya, dalam hati berkata, “duh..ini kalo kepeselat dikit bisa mati nih” tapi mulut tetap bungkam. Perjalanan harus dilanjutkan. Berdoa dalam hati. Bisa.
Sampai di atas batu tubuh langsung diterpa angin besar. Ingin berjalan saja susah, badan serasa mau terbang di bawa angin. Tenda-tenda yang berdiri di situ seperti mau lepas. Berkelebat. Pemandangan mengerikan. Seakan saya tidak percaya bisa di tempat seperti ini. Membuat saya yakin kami tidak akan bisa mendirikan tenda di tempat ini, tapi disisi lain badan sudah limbung jikalau mau berjalan lagi. Kami duduk meringkuk dengan mata tertutup karena debu yang berhamburan, sambil berbincang tentang bagaimana nasib kami selanjutnya. Keputusan diambil, kami harus berjalan sedikit lagi ketempat yang ada pohon dan semaknya. Setelah mendapati tempat yang diinginkan, kelelahan membuat saya langsung ambruk diantara semak belukar entah menindih kaki siapa. Sangat lelah. Beberapa menit terlelap, saya terbangun karena kedinginan dan kelaparan. Di samping saya ada Ella yang terbangun karena hal yang sama. Akhirnya kami membuka tas, makan roti tawar gandum berkerubut dalam sarung berdua untuk menahan angin selagi makan. Belum selesai makan kami dipanggil untuk membantu mendirikan tenda, ada empat orang laki-laki yang dengan jantannya mendirikan tenda di tengah angin sebegitu besar. Ternyata sudah ada dua tenda berdiri, tinggal mengencangkan tali pada pasak. Saya membantu memberi penerangan sebentar sebelum sekujur tubuh saya menggigil kedinginan dan saya harus lompat-lompat kecil agar tubuh bermetabolisme dan menghasilkan panas.
Rencana mendirikan tiga tenda gagal, hanya dua yang berdiri karena angin yang tidak kunjung berhenti. Tetapi satu tenda yang gagal didirikan tetap digunakan untuk menutupi diri dan entah siapa yang tidur di tenda tidak jadi itu.
Singkat cerita setelah semua orang masuk tenda, kekacauan selanjutnya terjadi dengan tidak ditemukannya dua sleeping bag, yang diketahui esok harinya tertindih tas. Nasib! Dan saya adalah salah seorang yang tidak mendapat sleeping bag. Tapi saya bisa terlelap berkat dua lapis jaket dan celana polar. Syukurlah. Tenda kami, tenda para perempuan, sempat ambruk. Karena saya merasakan kain menggelepar di wajah saya. Blubuk..blubuk..blubuk bunyinya. Mengingatnya membuat saya iba sekaligus ingin tertawa. Hahaha.
Hebatnya ada seseorang entah siapa yang bangun memeriksa tenda kami, karena saya melihat cahaya senter berkeliling. Alhasil, tenda kami sedikit berdiri, meski tidak sempurna. Hmm. Siapakah pangeran yang dengan gagah beraninya memperbaiki tenda kami di tengah galaknya angin malam di gunung? Hahaha.
Kami para perempuan terbangun karena kebelet kencing. Dengan langkah gontai kami menuruni bukit dengan semak belukar lebat. Dan kencinglah kami di tempat itu. Bukan main sensasinya. Hahaha.
Pagi itu cerah, kami disambut matahari terbit yang keemasan dengan awan bergerombol di depan kami. Rasa lelah dan dingin tadi malam terbayar sudah. Satu jam kami habiskan untuk menikmati matahari pagi waktu itu.
Si Dicky umur 9 tahun. Kali kedua mendaki Sumbing.
Setelahnya kita makan tentu saja. Makanan dikeluarkan. Peralatan makan disiapkan. Kami bersendau gurau setelah semalaman diam seribu bahasa. Hahaha.
Pukul sembilan kami mulai mendaki lagi, berjalan di tengah terik matahari membuat kami mudah haus. Ditambah jalur yang serupa dengan jalur di pos tiga jalur banaran, berdebu dan mudah longsor. Perlu dua jam untuk sampai di Segoro Banjaran. Segoro Banjaran adalah sabana dengan rumput yang seperti disisiri. Rapih sekali. Tempat itu satu kawasan dengan kawah Sumbing yang masih aktif.
Kami tidak bisa melanjutkan ke puncak Rajawali karena air minum tinggal satu botol, sedangkan kami masih membutuhkannya untuk turun sampai tenda. Puncak itu sebenarnya berupa tebing yang mengelilingi kawah, dan Rajawali adalah tebing tertinggi di antara lainnya.
Menuju puncak Rajawali pun harus mendaki mungkin sekitar satu jam, dan kami tidak akan sanggup tanpa air minum. Saya kecewa padahal tinggal sedikit lagi huhuhu T_T, tapi kami tidak mau mengambil resiko dehidrasi apalagi waktu itu sudah tengah hari, untuk perjalanan ke tenda saja kami setujui untuk minum satu tutup botol tiap kali haus agar semua kebagian. Huhu. Tak apalah, kami harus puas dengan cukup melihat kawah saja. Kawah adalah pusat gunung bukan?
Lagipula yang terpenting dari mendaki adalah berangkat dan pulang dengan selamat.
Kawah Sumbing
Setelah meng-eksplor kawah Sumbing kami turun menggunakan jalur lain menghindari jalur yang mudah longsor tadi. Memutar melewati Segoro Wedi, area berpasir putih yang luas. Yang membuat saya ber ‘woah’. Kami berfoto sebentar lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Turun lewat jalur ini ternyata tidak selalu ‘turun’ tapi ada naiknya. Dan saya selalu kewalahan saat bertemu dengan tanjakan. Tapi kelelahan kami terbayar dengan penampakan gunung Sindoro yang terlihat jelas di depan mata. Di perjalanan ini kaki saya agak limbung, sehingga sering terjerembab dan terpelesat, membuat para lelaki di belakang saya terkekeh. Menyebalkan. Sudah jatuh malah ditertawakan. Tapi ini jenis jengkel yang menyenangkan, memangnya ada? Ada. Itu barusan yang saya ceritakan. Kejengkelan dalam keakraban. View gunung Sindoro dilihat dari Sumbing
Kejadian tidak terduga juga terjadi, Tian sempat sakit karena asam lambung naik dan kedinginan tadi malam. Kami istirahat cukup lama di bawah pohon menunggu dia sanggup berjalan lagi. Mengoleskan minyak angin, memberinya makan dan menunggunya terlelap sejenak.
Setelah satu jam menunggu, kami melanjutkan perjalanan dan satu jam kemudian kami sudah sampai di tenda.
Kabut mulai tebal di sekitar kami. Sebelum membereskan tenda kami mengisi perut lagi, memasak dan menghabiskan makanan tersisa juga membereskan sampah.
Sekitar pukul tiga kami turun. Perjalanan turun ini sangat cepat, kami sering terpeleset dan berseluncur karena kaki tidak begitu berdaya menahan berat badan. Hahaha. Apalagi di jalur menuju pos tiga yang berdebu, sorenya makin parah, karena debunya menyebar. Masker tidak terlalu berfungsi karena debu benar-benar berhamburan, hingga saat saya melepas masker, sosok saya seperti Itachi berkumis.
Kurang lebih pukul enam kami sampai di pos satu. Hal pertama yang saya lakukan adalah minum sampai puas lalu mengelap wajah ninja saya. Kami berjalan turun menuju jalan besar agar bisa dijemput dengan sepeda motor menuju basecamp.
Sekitar tiga puluh menit kemudian kami sudah berada di basecamp. Meluruskan kaki sejenak sebelum menuju rumah Irma.
Sekitar pukul tujuh kami sampai di rumah Irma. Meletakkan peralatan dan membersihkan diri secukupnya sembari menunggu air untuk mandi mendidih. Saya speechless sekali dengan keramahan keluarga Irma yang repot-repot mendidihkan air untuk teman-teman satu rombongan.
Saya tidur kebablasan hingga tidak sempat berpamitan dengan teman lain, baru terbangun pukul sebelas malam untuk mandi. Saya dan kelima teman lain menginap di rumah Irma, menghabiskan malam, memulihkan tenaga.
Meskipun tidak sampai puncak Rajawali perjalanan kali ini tidak akan pernah saya lupakan karena saya kembali berhasil mengukir memori indah dalam kepala. Terimakasih teman-temanku tersayang. Hahaha.
Mendaki gunung itu memang melelahkan, kedinginan, kelaparan dan tidak nyaman, tapi entah kenapa saya jadi ketagihan. Karena mendaki mengurangi kemelekatan saya terhadap hal-hal yang ada di sekitar. Melekat terhadap sesuatu pada akhirnya akan menyakiti diri sendiri. Karena semua hal yang ada di dunia bukanlah milik kita. Termasuk diri kita sendiri dan segala perasaan di dalamnya. Saya harus berlatih melepaskan kenyamanan-kenyamanan itu, salah satunya ya dengan mendaki ini. Saat mendaki saya tidak peduli jika ada debu dalam makanan yang saya masak, debu di pakaian dan badan saya. Segala kenyamanan yang saya dapat di kota musnah saat mendaki gunung.
Teman saya pernah mengatakan ini setelah tau saya suka mendaki,
“Kamu denger berita gempa di Lombok kemarin?”
“Iya mbak kenapa?”
“Banyak pendaki Rinjani yang meninggal, tuh kan mendaki itu resikonya besar”
Saya yang merasa aneh dengan pernyataannya menjawab,
“Sebelum mendaki kita sudah berusaha menyiapkan peralatan dan fisik dengan sungguh-sungguh kok, kita juga survey kondisi alam, jika nantinya terjadi kejadian di luar kemampuan kita ya berarti itu sudah takdirnya, termasuk kematian” Anyway, sekarang masih musim kemarau lhoh jikalau ingin mendaki Gunung Sumbing. Saya yakin tidak akan menyesal nantinya, apalagi jika bisa sampai puncak Rajawali.
Sumber ::
https://ingsworld.wordpress.com/2018/09/10/mendaki-gunung-sumbing-via-lamuk/