Ekspedisi Saptanusa, Ekspedisi Seven Summits Indonesia. Kalimat tersebut yang selalu memotivasiku selama setahun terakhir. Mimpi untuk mencapai puncak-puncak tertinggi di Indonesia seakan-akan jalannya hadir di depanku. Dan kisahku di ekspedisi ini dimulai ketika aku ikut seleksi atletnya. Namun, kisah yang akan kuceritakan kali ini bukan tentang detail seluruh ekspedisinya. Mungkin hanya secara umum, namun khususnya akan aku fokuskan di gunung terakhir dalam rangkaian ekspedisi ini. Ya, Carstensz Pyramid, the highest place in Indonesia. Mungkin akan terasa cukup panjang, namun aku ingin mengabadikan momen tersebut di tulisan ini. Jadi, selamat menikmati kisah ini….
(taken from https://jurnalbumi.wordpress.com/2015/09/04/menjejak-sendiri-puncak-jaya-dan-soemantri/)
(puncak Carstensz Pyramid yang menjulang dengan indah, view dari Yellow Valley)
Satu tahun yang lalu…
Ketika ekspedisi ini digaungkan ke
publik, aku serta merta ingin ikut serta mendukungnya, entah bagaimana
caranya. Mulailah masuk kepanitiaan. Dan ketika seleksi atlet dibuka
untuk anggota STAPALA, aku pun berniat masuk. Walaupun pada awalnya,
keder, mengingat fisik yang tentu kalah jauh dengan anggota yang lebih
muda dan rutin olahraga. Namun, begitulah setiap cerita, selalu ada
permulaan. Dan permulaanku pada cerita ini adalah mengikuti seleksi.
Periode seleksi dan latihan….
Periode disasi latihan yang
ketat hampir membuatku menyerah. Aku yang disibukkan dengan kegiatan
kampus dan kegiatan lainnya dibuat kewalahan dengan jadwal. Namun,
walaupun terkadang bolos, namun aku tetap fokus pada tujuanku. Ikut
serta dalam ekspedisi ini. Bagaimana hasilnya besok, yasudahlah, aku
sudah berusaha.
Agustus-September 2015….
Periode ini sangat
menentukan, dan ternyata, aku termasuk dalam lima orang atlet yang akan
berangkat! Senang dan tegang bercampur aduk. Melihat jadwal perjalanan
yang padat, mampukah aku? Jadwalnya memang baru enam gunung, karena satu
lagi masih dalam proses pengurusan izin yang sangat melelahkan. aku
turut menyaksikan prosesnya yang sangat panjang. diterima dan ditolak
dalam perizinan menjadi hal yang lumrah. Yang pada akhirnya pada periode
ini, pendakiannya hanya di enam gunung dahulu.
Walaupun sudah terpilih jadi
atlet, tetap saja rasa tak percaya diri muncul. Bisakah aku melewati
proses ini? Dan semuanya mengalir begitu saja. Dimulai dari proses
karantina atlet di Posko, hingga latihan bersama-sama setiap harinya.
Aku percaya, atlet lainnya mampu untuk melakukan tanggung jawab ini. Ya,
benar, tanggung jawab. Kepada mereka yang telah memberikan harapan dan
impiannya kepada kami, para atlet, untuk mencapai tujuh puncak tertinggi
di Indonesia.
Pada akhirnya, enam gunung
berhasil kami selesaikan dengan baik dan selamat. Dimulai di Gunung
Kerinci di Jambi, dan disudahi di Gunung Semeru di Malang. Periode
pertama pendakian selesai sudah. Cerita di enam gunung ini telah
dikisahkan di tulisan lainnya. Dan saatnya kami menanti pendakian tahap
kedua, gunung terakhir sekaligus tersulit. Carstensz Pyramid….puncak
tertinggi di Indonesia, salah satu tujuh puncak tertinggi di dunia.
Pasca ekspedisi tahap pertama…
Di periode ini, kami terbuai
dengan aktivitas kampus dan lainnya. Aku juga sempat mengikuti kegiatan
lain yang menyita waktu dan pikiran. Sehingga terdapat jeda yang membuat
ekspedisi ini tidak tersentuh sama sekali. Bahkan aku juga sempat
berpikiran negatif, apakah ekspedisi ini tidak berlanjut? Sungguh naif
sekali….
Namun, dibalik seluruh kegiatan
yang menyita waktu anak-anak Posko, tetap ada satu orang yang selalu
memikirkan bagaimana agar ekspedisi ini selesai. Elang namanya, sang
manager dalam kegiatan ini. Dan ternyata beberapa orang juga masih tetap
memperjuangkan agar ekspedisi tetap berjalan. Namun, perjalanannya
terjal dan tidak selalu mulus. Benar-benar perjuangan.
Sebelum ekspedisi tahap kedua dimulai….
2016! Tahun penuh harapan. Di
awal bulan kedua, seolah mendapat angin segar, ada operator yang
bersedia membawa kami kesana. Namun, menumpang dengan private trip
orang luar. Tentu saja kami menampung asa tersebut, sembari terus
menanti kabar dari beberapa operator lainnya yang telah dihubungi
terlebih dahulu. Biaya kesana amatlah mahal, dimana kas ekspedisi
tidaklah terlalu besar. Hal ini membuat sang manager berpikir cermat
untuk mengatasi masalah tersebut. Pada awal tahun juga, dana usaha telah
bergerak kembali mencari dana untuk menambah kas ekspedisi yang menipis
setelah ekspedisi tahap pertama walaupun hasilnya tidak terlalu
menggembirakan. Namun yang membuat aku salut, ternyata anggota-anggota
Stapala lainnya berbondong-bondong memberi bantuan kepada ekspedisi, dan
akhirnya tercukupilah dana untuk memberangkatkan atlet ke puncak
tertinggi Indonesia ini. Alhamdulilah…
Beginning….
Hari
itu tanggal 29 Februari. Aku masih ingat. Kami melakukan persiapan
untuk berangkat. Kepastian telah diterima seminggu sebelum tanggal
tersebut. Dan pada akhirnya, terpilihlah dua orang atlet yang akan
berangkat. Dan aku salah satunya, aku tak menyangka awalnya. Kepastian
berangkat didapat setelah kopi darat dengan sang operator di bilangan
Sabang, Jakarta Pusat. Dan nego harga telah dicapai. Sang operator yang
bernama Franki Kowas, berkata “Oke, sampai bertemu di Nabire, yah!”. Deg-degan tidak terkira ketika ditunjukkan video yang tersimpan di smartphone beliau. Video tentang perjalanan di Carstensz Pyramid.
Sekilas mengenai Pak Franky, beliau berasal dari Manado. Dan ternyata sangat aktif di dunia outdoor.
Beliau telah mengalami asam garam menjadi operator khusus pendakian
Carstensz. Telah beroperasi hampir selama enam belas tahun lamanya. Dan
telah menjajal hampir seluruh rute yang available untuk menuju Carstensz. Sugapa, Ilaga, Tembaga Pura, bahkan ternyata hampir berhasil membuka rute sendiri melalui Singa.
Dua hari sebelum
keberangkatan, praktis aku belajar banyak tentang teknik pendakian
Carstensz, yang konon katanya terkenal sebagai gunung yang mempunyai
akses dan jalur tersulit untuk menuju puncaknya. Jumaring, dan lainnya
menjadi sesuatu yang wajib aku kuasai. Untungnya aku punya basic teknik
rock climbing dulunya, sehingga tidak terlalu terkejut ketika melihat
video-video pendakian puncak Carstensznya.
Namun, jujur saja aku
katakan, disamping perasaan senang karena akhirnya bisa menggapai mimpi
pribadi untuk mencapai puncak tertinggi di Indonesia, ada perasaan
tegang dan takut. Takut tidak mampu untuk kembali dengan selamat ke
rumah. Takut tidak mampu mengatasi rintangan jalur pendakian yang
terlihat amat sulit ketika mendengar cerita-cerita dan melihat video
dokumentasi orang-orang yang telah berada di sana sebelumnya. Perasaaan
itu terus hinggap hingga pada pada saat keberangkatan.
Kami berangkat dari Bandara
Cengkareng di malam hari, setelah sebelumnya dilepas dengan meriah oleh
anak-anak posko. Sempat transit di Makassar dan Jayapura, akhirnya tiba
di Nabire pagi hari menjelang siang. Aku menghubungi Romi, guide kami
disana. “Halo bg Romi, ini Patuan, tim STAPALA. Kami telah tiba di bandara,”
ujarku saat menelepon bg Romi. Dan tidak sampai setengah jam, kami
telah berada di mobil bersama Romi dan Loren. Mereka berdua adalah guide dari tim Manado Adventure, operator milik Pak Franky.
Kami dibawa ke basecamp
milik mereka, dan istirahat sepuasnya. Sorenya ketemu dengan Pak
Franky, dan kami diajak makan. Oh ya, kami disini adalah aku sendiri,
dan Turus. Kami berdua lah yang mewakili STAPALA untuk mendaki pada
ekspedisi ke Carstensz ini. Oh ya, malam itu kami ketemu dengan anggota
tim lainnya. Mereka adalah Russel Brice, Chris, Collin, dan Maria. Usut
punya usut, ternyata mereka para pendaki profesional. Beruntung sekali
rasanya kami. Kami mendengarkan mereka bercerita. Khususnya Brice, yang
aku tanya mengenai beberapa hal tentang kegiatan pendakian yang dia
lakukan. Aku sebelumnya sudah mencari-cari informasi tentang Brice, yang
ternyata merupakan sosok yang luar biasa.
Oke, untuk selanjutnya akan aku ceritakan di bawah, karena tidak elok digabungkan dengan Subtopik Beginning, karena esoknya kita sudah terbang dengan helicopter ke Lembah Kuning.
2 Maret 2016….
Pagi itu kami sudah di
bandara. Direncanakan akan terbang, namun sempat ketar-ketir akibat
cuaca yang tidak bersahabat. Perlahan-lahan matahari mulai menampakkan
sinarnya. Awan gelap yang menyelimuti langit nabire berangsur hilang.
Akhirnya sekitar pukul delapan pagi, kami pun take off. Untuk
ke Lembah Kuning, yang merupakan titik pertama pendakian kami ini, harus
terbang ke Kota Enarotoli dulu. Oh ya, alat transportasi kami adalah helicopter. Pantas trip ini mahal harganya. Sejam aja sewa heli bisa sekitar USD 5,000. Wuih….
(suasana ketika loading barang di bandara dan sesaat sebelum lepas landas menuju Enarotali)
Sejam sesudahnya, kami turun
di Bandar Udara perintis di Enarotoli. Ternyata untuk ke Lembah kuning
dari situ, butuh waktu sekitar setengah jam lagi dengan helicopter.
Kami dibagi menjadi dua tim untuk diterbangkan secara bergantian,
karena sang heli memiliki beban maksimal agar dapat terbang ke lembah
kuning. Kami berjumlah delapan orang, dimana dua orang lainnya adalah
Romi dan Loren. Posisi kami, aku dan Turus, adalah pendaki yang menyusup
di trip private Russel Brice. Sehingga kami pun ditempatkan posisinya
menjadi junior staf, ceritanya lagi magang di Operator Manado Adventure.
Sehingga untuk selanjutnya, kami bukan berperan sebagai tamu di
pendakian ini, namun sebagai asisten guide.
Giliran pertama yang terbang
tentu saja Romi, Loren, dan dua orang tamu, yaitu Collin dan Maria. Aku
sendiri di giliran berikutnya, karena dapat tugas nyari bensin di
sekitar bandara, karena bensin yang jadi bahan bakar untuk masak di atas
yang dibawa kurang. Kami sendiri menyusupkan bensin tersebut karena di
bandara kalau ketauan tentu saja akan ditahan. Padahal itu sesuatu yang
dibutuhkan ketika di camp, mengingat tidak mungkin masak pake kayu bakar. Gas dan parafin? Tidak ada dalam plan para guide.
Keluar dari bandara sembari
menunggu heli menjemput, aku menyusuri jalan yang becek minta ampun.
Babi berkeliaran dimana-mana, aku bahkan harus menghindar sesering
mungkin. Setelah berjalan seratusan meter, bensin pun didapat, dan aku
sekalian beli paramex, obat sakit kepala. Kata Pak Franky, penting
dibawa, karena akan sangat penting. Kenapa penting? Karena memang
penting, hehe…nanti akan dijelaskan.
Selanjutnya kami pun terbang.
Itu merupakan pengalaman pertamaku naik helicopter, dan aku berusaha
tetap cool dan tidak sampai selfie selama perjalanan. Namun aku khilaf
di awal, karena berfoto dengan latar belakang si heli, hehe…Tidak lama
saja, kami sudah memasuki kawasan Freeport, untuk selanjutnya aku
singkat PTFI. Terlihat Grassberg Hole, yang sangat terkenal
itu. Aku sempat-sempatnya mengabadikan perjalanan itu. Dan setelah
melewatinya, lembah kuning pun terlihat. Dan tentu saja, puncak
Carstensz Pyramid.
(suasana camp, yang letaknya persis dibawah tebing Carstensz)
Untuk gambaran, letak Lembah
Kuning berada di atas Lembah Danau-danau, dengan ketinggian di atas
4,100 mdpl. Bayangkan betapa berbahayanya perjalanan ini. Dimulai dengan
terbang memakai helicopter yang menyusup di antara pegunungan,
hingga proses adaptasi tubuh yang terbang dari hampir 0 mdpl (Nabire
berada di pinggir laut) ke atas 4,100 mdpl. Berikut aku sadur dari
beberapa sumber:
“Perubahan fisiologis tubuh yang terjadi selama berada di dataran tinggi merupakan bentuk kompensasi tubuh untuk beradaptasi dengan keadaan yang tidak biasa. Mekanisme itu dapat berupa hiperventilasi (bernapas cepat, lebih dalam, atau keduanya) sebagai upaya untuk mendapatkan oksigen lebih banyak dan pengeluaran karbondioksida. Kalau pada kondisi normal hiperventilasi terjadi pada saat kita beraktivitas (misalnya saat berolahraga), maka pada high altitude hiperventilasi terjadi walaupun dalam keadaan istirahat. Hiperventilasi “memaksa” ginjal untuk menyesuaikan diri dengan cara meningkatkan pengeluaran bikarbonat melalui urin dan hal ini mengikut sertakan cairan. Akibatnya, volume buang air kecil semakin banyak (diuresis). Selain itu, level oksigen yang rendah merangsang ginjal untuk memproduksi Erithropoietin, dan selanjutnya merangsang sumsum tulang menghasilkan lebih banyak sel darah merah (polisitemia). Akan tetapi, keadaan ini justru kurang menguntungkan bagi tubuh karena peningkatan jumlah sel-sel darah merah menyebabkan darah menjadi kental (viskositas meningkat). Hal ini menimbulkan aliran darah di dalam pembuluh darah menjadi lambat, sehingga mempermudah terjadinya penyumbatan pembuluh darah (trombosis).”
Tubuh kita punya kemampuan
untuk beradaptasi terhadap ketinggian, bisa menyesuaikan diri terhadap
“ketersediaan” oksigen yang rendah, yang biasa dinamakan Aklimatisasi.
Kalau kita berjalan dari Sugapa/Ilaga, tentunya tubuh kita secara
perlahan beraklimatisasi dengan perubahan ketinggian. Namun kalau naik
heli, tentunya tubuh akan terkejut dengan perbedaan ketinggian tersebut.
Nah disitulah salah satu tantangannya. Dan paramex sangat berguna di
kondisi tersebut, karena salah satu alternatif yang bisa menekan sakit
kepala yang menyerang. Pada akhirnya, sepanjang kami di gunung, sakit
kepala menyerangku dengan hebat, apalagi kalau malam tiba. Baru reda
ketika sudah turun. Luar biasa.
Tiba di lembah kuning, kami
segera membantu Romi dan Loren mendirikan tenda dan lainnya. Dan aku
salut sama Brice, dkk. Mereka tidak segan ikut membantu, dan tidak
merasa keberatan untuk melakukannya, bahkan menawarkan diri. Hari itu
aku mendapat job pertama, yaitu mengambil air di danau yang ada di
lembah tersebut, yang selanjutnya akan menjadi tugas rutin buatku selama
disana. Lumayan juga buat olahraga. Koki dalam pendakian ini adalah
Romi, yang dengan luar biasa mengolah semua bahan makanan dengan rata,
dan lebih mengejutkan lagi, masakannya enak. Namun, tidak buatku, karena
tubuhku sejak diserang sakit kepala, malas buat menelan nasi. Aku tidak
menyentuhnya sama sekali, dan hanya makan lauknya saja terkadang. Lebih
seringnya makan biskuit dan minum hangat saja yang kuperbanyak.
(lembah kuning, di ujung lembah sanalah terdapat Grassberg Hole PTFI, sebelah kiri inilah tebing Carstensz)
Oh ya, melanjutkan deskripsi
letak lembah kuning. Berada setelah berjalan selama dua jam dari Lembah
Danau-danau menuju puncak. Dan titik pendakian puncak berada di lembah
kuning ini. Puncak sudah sangat dekat terlihat. “hanya” sekitar 800 mdpl
saja. Dan itu tentu tidak mudah, karena dari titik pendakian puncak
adalah tebing hingga ke atas. Memakai tali dan alat memanjat adalah
keharusan untuk safety. Dari sini ke Grassberg hole milik Freeport terlihat sangat dekat.
(lembah kuning)
3 Maret 2016….
Hari ini kami masih
melanjutkan proses aklimatisasi. Aku yang sejak pagi sudah bangun,
berolahraga kecil di samping tenda. Disini dingin sekali, suhunya
entahlah di titik berapa derajat. Jaket tidak pernah lepas dari tubuhku,
dan pakaianku tiga lapis. Pagi itu aku mencoba berjalan ke arah titik
pendakian. Mengamati ketinggian, dan merasa keder. Tebingnya
hampir-hampir vertikal terus sampai titik summit ridge.
Pulang ke tenda, orang-orang
tidak ada. Ternyata mereka pergi berjalan ke arah lembah danau-danau.
Hanya Romi yang tinggal di tenda. Sebenarnya tidak dijaga juga tidak
masalah. Karena hanya kami yang berada disana. Tidak ada pendaki lain.
Pendaki lain baru tiba sewaktu kami akan turun nantinya. Aku pun
beranjak menyusul kesana. Sempat-sempatnya bikin video sepanjang jalan,
aku menikmati pemandangan yang sangat indah di lembah tersebut. Cuaca
pagi itu cerah. Dan kebiasaan cuaca di lembah ini adalah, dari pagi
hingga pukul sepuluh biasanya cerah berawan, namun selanjutnya akan
hujan hingga malam tiba. Terkadang memang hujan berhenti, dan matahari
mengintip malu-malu dari balik awan, namun segera saja awan hitam
menyelimuti langit lagi biasanya.
Hampir sejam berjalan, tiba
di punggungan dan bertemu Loren dan Turus yang sedang berjalan pulang.
Aku telah tiba di puncak punggungan ke lembah danau-danau. Di depanku
menjulang indah puncak Jayawijaya, puncak salju abadi di Indonesia. Dan
memang saljunya ada, menghiasi pucuk-pucuknya. Di sebelah kananku puncak
Carstensz Timur. Sungguh indah panoramanya, seandainya bisa
kudeskripsikan dengan lengkap. Aku tidak lama-lama disana, setelah
mengambil foto secukupnya dan beristirahat, aku berjalan pulang ke Camp.
(lembah danau-danau)
(puncak Jaya Wijaya)
Selanjutnya seharian itu kami hanya beraktifitas di sekitar tenda saja. Kalau kata Brice, aktifitasnya adalah Eating, Sitting, Sleeping, ada-ada
saja.. aku ingin menambahkan kosa katanya dengan toiletting, namun
rasanya kok tidak elok. Sehingga hanya sangkut di tenggorokan saja.
Terkadang kami memang bercakap-cakap dengan Brice, dkk. Terutama dengan
Brice sendiri yang aku belajar beberapa hal darinya selama pendakian
ini. Berbincang dengan Maria juga sangat menyenangkan. Namun kalian akan
kecewa sebagaimana aku juga, karena Maria berusia empat puluhan.
Aktifitas kami bersama-sama
biasanya ketika makan, karena kami yang menjadi junior staf tentu saja
yang bertugas menyuci piring, menghidang, dan hal kecil lainnya. Loren
akan berbincang dengan tamu, dan Romi hanya sesekali menimpali karena
main jobnya adalah memasak. Namun, menyenangkan rasanya mendapat banyak
ilmu baik dari Romi dan Loren, juga dari Brice,dkk. Ada beberapa quote
dari Brice yang aku ingat sekali, aku bagikan deh di akhir tulisan ini.
Brice merupakan pemilik
operator Himex, operator terkemuka yang membawa tamu untuk mendaki
puncak-puncak gunung di Himalaya, seperti Everest, K2, dan ke gunung
lainnya. Namun, sebagai orang yang sudah beberapa kali seven summit
dunia, dan memiliki segudang pengalaman pastinya, Dia tidak terlihat
sombong dan tinggi hati. Bahkan sangat rendah hati. Ketika aku
berbincang kepadanya dengan mengatakan aku mengaguminya dengan segudang
pengalaman yang dimilikinya, tebak apa yang dia bilang. Brice hanya
berujar, “Look at me, im just an old man right now”. Dan Dia
juga bilang nanti ketika naik ke Carstensz jangan cepat-cepat karena Dia
akan berjalan dengan sangat perlahan. Dan nantinya itu tidak terbukti,
karena mereka nantinya hanya membutuhkan lima jam saja untuk naik turun
Carstensz….
Oh ya, satu hal yang sangat
menarik yang Brice lakukan setiap hari selama kami disana mulai dari
hari pertama adalah membersihkan area di sekitar Camp dari sampah yang
bertebaran dimana-mana. Awalnya sih aku hanya melihat-lihat saja. Sangat
malas rasanya buatku berpartisipasi karena kondisi cuaca yang dingin,
yang membuat badan malas bergerak. Namun, aku tergerak dengan aksi yang
dilakukan Brice. Lama-kelamaan seluruh anggota tim ikut membantu Brice.
Dan dalam kurun waktu sekitar enam hari di atas, area Camp Lembah Kuning sudah cukup bersih dari sampah yang bertebaran.
4 Maret 2016….
“Sial, aku ga bisa tidur lagi malam ini!,”
begitu gumamku di dini hari itu. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi,
yang artinya sejam lagi kami sudah harus bangun karena akan summit. Yap,
sehari sebelumnya tim memutuskan untuk summit tanggal empat pagi
apabila cuaca mendukung. Dan ternyata sejam tadi malam gerimis tidak mau
berhenti. Aku melangkah keluar dan melihat langit gelap sekali.
Memang sakit kepala telah
menyerangku dengan hebat sejak malam pertama, dan sedikit mereda kalau
siang. Namun kalau malam, membuatku tidak bisa tidur sama sekali.
Walaupun sudah mencoba banyak gaya tidur, tetap aja mata itu tidak mau
terpejam. Selama di lembah kuning, sudah banyak obat kimia yang kutelan
dengan rakus. Demi menghilangkan sakit tersebut. Sepertinya aku memang
kena penyakit ketinggian itu.
Bahkan Pak Franky cerita,
dulu beberapa tamunya ada yang sampai pingsan, mimisan, dan tidak bisa
mendaki sama sekali begitu tiba di Lembah Kuning. Akibat dari tidak
tahan terhadap perubahan ketinggian yang terjadi secara tiba-tiba. Seram
juga ternyata.
Pukul tiga aku sudah
mendengar di luar kasak kusuk. Sepertinya Brice, dkk sudah keluar dari
tenda. Dan benar saja, Brice memanggil kami dari luar. Aku segera
membangunkan Romi. Dalam sekejab, kami sudah di tenda dapur. Dan Romi
mulai memasak. Brice bertanya bagaimana kelanjutan summit pagi tersebut.
Dan demi melihat cuaca, Loren berujar akan menunggu cuaca membaik
hingga pukul setengah lima pagi. Demi mendengar itu, aku izin ke tenda
untuk tidur-tidur barang setengah jam.
Pukul tengah empat, aku
bersiap di dalam tenda. Memasang hardness, menyiapkan prusik di
karabiner dan jumar. Dan mengaturnya demi memprediksi mana yang akan
dipakai di pendakian ini. Total aku membawa lima karabiner, satu jumar,
enam buah prusik, satu helm, dan satu figure of eight. Prediksiku, figure of eight
akan berguna ketika turun nanti. Sementara aku sedang bersiap-siap di
tenda. Di luar Romi sudah memanggil-manggil. Eh ternyata mereka akan
berangkat tanpa menunggu pukul setengah lima. Wah sial, aku bahkan belum
minum air sedikitpun dan sarapan apapun. Turus kemudian masuk tenda
untuk persiapan juga. Karena aku sudah bersiap, aku keluar tenda. Dan
demi melihat mereka sudah akan jalan, aku pun panik. Memang cuaca sudah
agak membaik, dengan gerimis sudah berhenti turun. Romi dan Loren pun
agak kerepotan karena tiba-tiba berjalan. Bahkan tidak ada briefing dan
doa bersama.
Di luar, aku masuk ke dapur
tenda, dan menyambar tiga roti untuk dimasukkan ke dalam jaket.
Syukurnya kami sudah mempersiapkan barang yang akan dibawa dalam satu
daypack malam sebelumnya. Namun, ternyata Turus belum juga keluar dari
tenda ketika Brice, dkk sudah berjalan. Romi memanggil-manggil sembari
ikut berjalan. Aku pun dengan tergesa-gesa memanggil Turus, yang
ternyata belum siap. Sembari berjalan aku melihat terus ke tenda. Dan
Turus pun akhirnya keluar tenda dan mulai berjalan.
Aku tiba di titik pendakian
tebing, dan Turus belum juga sampai. Brice,dkk sudah mulai naik. Sembari
menunggu, aku melepas celana jaket. Ternyata sangat mengganggu walaupun
melindungi dari dingin. Duh, barangku rasanya berat sekali. Sepertinya
aku terlalu membawa banyak barang. Isi tasku padahal cuma satu jaket
cadangan, satu celana jaket, satu raincoat, beberapa makanan ringan, air minum 500 ml, dan survival kit.
Loren agak sedikit panik, dengan mengatakan kami harus cepat berjalan.
Aku memaksa Loren menunggu karena Turus belum tiba di titik pendakian.
Lima menit berlalu, kami pun
mulai mendaki. Sialnya, ternyata hardnessnya aku pasang dengan posisi
tidak baik, akibat terburu-buru memakai kembali setelah melepas celana
jaket. Namun untungnya tidak terlalu mengganggu, karena untuk
membenarkannya tidak ada waktu lagi. Formasi tim untuk memanjat telah
kami bicarakan malam sebelumnya. Romi yang paling berpengalaman berada
di depan untuk memimpin, sekaligus memeriksa tali yang akan dipakai.
Sudah cukup banyak tali yang bergantung di tebing Carstensz, menandakan
sudah cukup banyak pendaki yang ikut membuat jalur pendakian di tebing
tersebut. Romi memiliki pengalaman mendaki dari tahun 2000an, dan
sedikitnya telah mendaki hingga ke puncak Carstensz sebanyak tujuh puluh
kali. Loren baru bergabung dengan operator di tahun 2013. Setelah Romi,
baru empat orang tamu, lalu Loren, disusul Turus, dan sebagai sweeper
aku berada di belakang. Sepertinya Romi percaya akan kemampuan kami
untuk memakai alat dan memanjat tebing. Padahal, sejujurnya, aku jarang
manjat tebing sejak penempatan kerja tahun 2011. Mulai latihan memanjat
lagi pun satu tahun terakhir, namun itu juga sangat sedikit.. Setidaknya
seminggu terakhir, kami membiasakan diri dengan alat-alat yang kami
bawa, sehingga memudahkan untuk memanjat. Juga tiga hari terakhir
sebelum berangkat kemarin, kami intensif latihan memanjat di dinding
panjat sembari latihan ascending dan descending memakai jumar dan figure
of eight.
Dan ternyata, jumar lah alat
yang sangat berharga dalam pendakian ini. Tebing yang didaki ternyata
benar-benar cukup vertikal. Seperti gambaran kami sewaktu menonton
video-video pendakian Carstensz. Teknik Ascending yang kami
lakukan, memakai satu jumar saja di tangan kanan. Terkadang, tangan
kananku bergantung di jumar kanan, sementara anggota tubuh lainnya
memanjat. Terkadang juga, jumar hanya dinaikkan saja, dan memanjat pakai
dua buah tangan. Namun tidak jarang, hanya bergantung semata pada
jumar, karena tidak ada celah tebing yang bisa dijadikan pegangan untuk
merangkak naik. Tali-tali yang bergelantungan di tebing, ada yang sudah
lapuk dan ada yang masih cukup baru. Tetap saja karena basah, membuatnya
hampir tidak bisa dibedakan mana yang masih bagus. Jadi memang
terkadang ada faktor untung-untungan sembari berharap bahwa tali yang
dijadikan alat untuk naik masih bagus. Resikonya sangat tinggi sekali.
Tebing Carstensz sendiri ada beberapa titik untuk menuju puncak. Teras 1, 2, dan 3, kemudian Teras Besar, lalu Summit Ridge.
Selanjutnya jalur tyrolean yang panjangnya sekitar 20an meter. Lalu ada
tyrolean kecil sebanyak 2 buah, dengan panjang sekitar 5-10 meter.
Setelah itu, baru puncak Carstensz. Pendakian ke puncak dari lembah
kuning biasanya memakan waktu delapan jam pulang pergi, dan itu kondisi
normalnya.
Balik lagi ke pendakian pagi
itu, Turus sedikit kewalahan dalam naik. Loren yang beberapa kali
menunggu, akhirnya tidak bisa menunggu lagi, dan meninggalkan kami
karena mesti mengejar Brice, dkk. Main job mereka berdua, Romi dan
Loren, memang adalah jadi guide buat para tamu private. Jadi, mereka
percaya kami mampu ditinggal sendiri karena basic kami yang merupakan
pencinta alam, dan sudah memiliki experience naik gunung dan panjat
tebing. Sewaktu naik, aku awalnya berada di belakang, namun karena
merasa terlalu lama, akhirnya mendahului Turus. Tujuannya agar aku saja
yang mencari jalur naik. Karena sebelumnya Loren-lah yang memandu.
Pagi mulai menjelang, dan aku
yakin sudah tiba di Teras 1. Jarak kami dengan Loren sudah cukup jauh.
Setelah mengambil beberapa foto, aku melanjutkan pendakian. Seluruh
pendakian tersebut menggunakan tali untuk tiba di Puncak. Beberapa kali
aku menunggu Turus, dan kemudian akhirnya kami tiba di Teras Besar.
Disebut Teras Besar, karena disini area terbukanya cukup luas walaupun
miring. Aku sempat meninggalkan barang-barang seperti jaket dan raincoat
karena merasa terlalu berat untuk dibawa melanjutkan pendakian. Aku
masukkan di plastik warna merah agar mudah dicari kembali nantinya dan
meletakkannya di cerukan batu. Kemudian mulai memakan roti dan menenggak
air. Turus pun tiba juga di Teras Besar.
Selanjutnya setelah Teras
Besar, membentang tebing vertikal yang kemiringannya 90 derajat.
Ketinggiannya cukup lumayan juga. Aku tidak tahu pasti. Aku pun mulai
memanjat lagi. Dan ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan karena ada
beberapa cerukan batu yang bisa dijadikan pegangan. Bahkan aku sempat
merekamnya dengan Gopro yang aku bawa. Sesampai di Summit Ridge,
waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, yang artinya sudah
hampir empat jam dari tenda. Dikejauhan aku mendengar suara Brice, dkk.
Wah, mereka ternyata sudah turun. Aku memanggil-manggil Turus agar
bergegas. Sembari menyemangati Turus, aku menanti Romi dan lainnya tiba
di Summit Ridge. Dan setengah jam kemudian benar saja, Romi
disusul empat orang lainnya tiba. Begitu melihat aku, Romi berkata agar
aku bergegas sebelum cuaca semakin memburuk. Aku pun berkata aku sedang
menunggu Turus. Kemudian aku bertanya-tanya, apa yang harus aku
perhatikan sewaktu turun nantinya. Dan Romi mengatakan bahwa cukup pake figure of eight atau karabiner untuk alat safety ketika turun nanti.
Brice, dkk menyemangatiku
ketika melihatku. Karena jalur di tebing vertikal hanya satu, aku tahu
mereka akan menunggu Turus dulu untuk naik. Aku segera berjalan kembali
karena Romi mengatakan di Tyrolean, Loren sudah menungguku. Tidak jauh
untuk sampai Tyrolean, hanya lima belas menit saja sepertinya. Disitu,
Loren mengajariku cara menyeberang Tyrolean. Aku memasang carabiner di
kedua sisi jembatan. Oh ya, jembatan tyrolean pertama ini merupakan
jembatan yang dipersembahkan tim Trans TV setahun lalu. Terbuat dari
satu tambang baja sebagai pijakan, dan dua tambang di sisinya.
Sebelumnya untuk menyeberang tyrolean tersebut mesti memakaia Pule atau
karabiner dan menyeberang memakai kekuatan lengan. Jembatan tersebut
memudahkan pendaki berikutnya untuk menyeberangi tyrolean yang
dibawahnya terbentang jurang yang sangat dalam. Kalau menyeberang sambil
melihat ke bawah, seram loh. Dari titik pendakian tebing hingga ke
tyrolean yang diuji adalah fisik, nah kalau di tyrolean yang diuji
adalah mental.
Setelah sukses menyeberang, aku berkata pada Loren, “Bg,
Turus sepertinya agak kesusahan, coba abang tanyakan dulu, apakah dia
masih bisa terus. Kalau tidak bisa, tolong abang temanin untuk pulang.
Tapi kalau dia bisa, aku temanin dia ke atas.” Loren mengiyakan.
Lima belas menit kemudian Turus pun muncul dan mulai menyeberang. Dan
ketika Loren bertanya pada Turus, ternyata Turus masih memiliki tekad
untuk sampai ke puncak.
Loren pun meninggalkan kami,
setelah sebelumnya menjelaskan jalur ke atas yang masih harus melalui
dua buah tyrolean yang walaupun tidak terlalu panjang, namun berbahaya
apabila tidak hati-hati. Loren tidak mungkin mengantar kami, karena dia
juga mesti mengejar Brice, dkk. Yasudah, dengan penuh semangat yang
sempat hampir putus, kami pun melanjutkan perjalanan. Dan benar saja,
ada dua buah tyrolean yang patahan tebingnya cukup berjauhan, dan
tentunya tidak ada jembatan dari tambang besi lagi. Yang ada hanya
beberapa tali tambang saja, dan itupun kondisinya tidak terlalu bagus.
Aku menyangkutkan karabiner di semua tali yang ada, dan mulai
menyeberang dengan melompati tebing. It took so much effot to do that.
Dan lebih buruk buat Turus karena dengan kondisi fisiknya, agak susah
untuk menggapai tebing berikutnya. Setelah usaha yang berat, Turus
bahkan sempat jatuh ketika turun dari tebing, walaupun akhirnya bisa
sampai juga di tebing seberang.
Setelah berjalan, memanjat, jumaring, dan memakai karabiner untuk safety sesering yang tak kami bayangkan, akhirnya puncak terlihat. Ada tiga puncak gunung yang mesti dilewati dari Summit ridge sebelum tiba di puncak tertinggi. Aku yang awalnya semangat untuk segera ke puncak, demi melihat Turus yang masih memanjat di bawah sana, akhirnya menundanya. Dan bertekad untuk menuju puncak bersama-sama sebagai sebuah Tim. Dan setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Turus tiba di tempatku menunggu. Dan kemudian kami memanjat lagi, dan akhirnya, Puncak Carstensz Pyramid terpampang di depan mata, ditandai adanya lempengan besi penanda puncak yang sering kami lihat di video-video. Alhamdulilah, kami berhasil menggapai puncak tertinggi di Indonesia, sekaligus puncak ketujuh dari seven summit Indonesia yang kami lakukan. Kami membawa nama STAPALA dan kampus PKN STAN ke puncak-puncak tersebut. Dan kami berhasil.
Kami tiba di puncak setelah
mendaki sekitar enam jam. Hmm, walaupun lama, kami berdua berhasil
sampai di puncak. Dan, ketika di puncak, kami hanya sebentar saja,
mengingat cuaca yang semakin gelap, bahkan hujan es sudah mulai turun
satu-satu. Kami tidak berfoto banyak, dan mulai bergegas turun.
Sejujurnya aku tidak bisa membayangkan bagaimana cara turun dari tebing
ini. Mengingat ketika naik, banyak jalur yang vertikal. Kalau naik bisa
memakai jumar sebagai pengaman, namun kalau turun tentu saja lebih
berat.
Aku memimpin jalan duluan, mencoba memakai segala cara. Pertama aku mencoba turun menyusuri jalur dengan figure of eight,
yang ternyata sangat sulit dilakukan mengingat banyak tali yang
terbentang dengan tegang. Lalu mencoba jumar, yang terkadang sangat
tidak safe kalau menyusuri jalur yang tidak terlalu vertikal. Akhirnya sepanjang summit ridge
aku kebanyakan memakai karabiner saja. Dan tantangan bagi kami ketika
turun, paling utama ketika menyeberang tyrolean pendek lagi. Karena
ketika turun bisa dengan melompat, kalau naik, mesti mencapai tebing
sisi seberang. Akhirnya aku memakai jumar untuk menyeberang dua tyrolean
pendek tersebut. Dan Turus walaupun kesulitan, namun bisa menyeberang
juga. Aku tidak bisa membayangkan kalau salah satu dari kami jatuh ke
jurang yang membentang di kedua sisi tebing, tentunya yang pulang hanya
nama saja di rumah. Waktu itu aku terus berpikir positif, dan membuang
jauh-jauh kemungkinan buruk tersebut.
Akhirnya, tiba juga di
tyrolean pertama. Aku melewatinya dengan perlahan, kemudian menyemangati
Turus untuk melewatinya juga. Sesampai di ujung summit ridge,
aku turun duluan. Dari sini, aku descending dengan jumar dan karabiner
sebagai pengaman. Dan ternyata memakai jumar terbukti efektif, dengan
jumar sebagai pengaman dan stopper, aku turun perlahan menyusuri tebing
vertikal tersebut. Memanjat turun walaupun tidak secapek ketika naik,
namun, ternyata tubuhku mulai terasa lelah. Beberapa kali ketika
memindahkan jumar ke bawah, jempol kananku mulai slip. Lapar, lelah,
bercampur jadi satu.
Tiba di teras besar, aku melihat Turus masih di atas summit ridge.
Aku pun khawatir kalau-kalau Turus terkena hipotermia atau kelelahan.
Aku memanggil-manggil dan berteriak dengan marah agar dia bergegas
turun. Kemudian aku mencari barang yang aku tinggalkan. Sempat terpikir
mengganti jaket yang basah dengan jaket cadangan. Namun, entah kenapa
rasanya malas untuk melakukannya karena hal itu mesti melepas hardness
dan lainnya. Aku turun perlahan dan setiap waktu memanggil-manggil
Turus. Ketika ada suara sahutan, aku cukup yakin dia perlahan turun
juga. Aku pun turun ke Teras 3.
Sesampai di Teras 3, cuaca
perlahan cerah. Aku berhenti di sana dan beristirahat. Roti yang aku
bawa sudah hancur di saku jaket, mungkin terhimpit ketika memanjat,
tidak bisa dimakan lagi. Aku hanya memakan cokelat saja. Agak lama juga
menunggu Turus, sehingga aku sempat memejamkan mata. Kondisi tubuhku
semakin drop karena berhenti dengan waktu yang lama. Suhu tubuh pun
perlahan drop. Aku kedinginan akibat jaket yang aku pakai memang sudah
basah, ditambah suhu udara yang sangat dingin. Akhirnya Turus tiba di
Teras 3. Lega rasanya karena ternyata Turus aku lihat masih cukup fit
untuk melanjutkan perjalanan.
Dari Teras 3, aku menyuruh
Turus untuk turun duluan, karena khawatir dia tertinggal lagi kalau aku
yang turun duluan. Ditambah dengan hal bahwa tubuhku sudah kelelahan,
sehingga aku sangat ingin duduk saja dan memejamkan mata. Begitu
seterusnya, Turus memimpin perjalanan turun dari Teras 3, dan aku
mengikuti sarannya. Dari Teras 1, tangan kananku sudah sangat lelah,
sehingga tidak bisa menggenggam jumar lagi dengan baik. Ketika
memindahkan jumar, jempol kananku susah digerakkan untuk melonggarkan
jumar dari tali tambangnya. Aku memutuskan hanya memakai karabiner saja
akhirnya. Dan rupanya usaha tersebut cukup berhasil. Turun dengan lebih
cepat, namun stopper hanyalah tangan saja, karena karabiner tidak bisa
mencengkeram tali. Sangat berbahaya, namun buatku sangat berguna waktu
itu. Terkadang sewaktu turun dari tebing vertikalnya, aku meluncur
dengan sangat cepat sehingga terjatuh. Namun, untungnya tidak ada cedera
serius.
Sekitar pukul empat sore,
kami tiba di punggungan terakhir. Camp sudah terlihat di kejauhan. Dan
kami melihat Loren sudah melambai-lambai. Cuaca cerah sekali. Matahari
bersinar. Aku yang sudah sangat kelelahan tiba-tiba mendapat energi
baru. Apalagi melihat Brice berjalan ke arah tebing tempat kami berada.
Setelah turun dari jalur terakhir. Kami berjalan ke arah Brice. Dan
Brice menyambut kami dengan senyum, “Congratulation, you two are great!”.
Tiba di Camp, kami
disambut semua anggota tim dengan senang. Mereka ternyata sangat
khawatir dengan kami. Mengingat kami di atas sana selama dua belas jam,
sementara mereka ternyata hanya membutuhkan waktu sekitar lima jam saja
untuk naik turun. Luar biasa. Kami disuguhi teh dan makanan hangat oleh
Loren. Bahagia sekali rasanya bisa selamat tiba kembali di tenda. Aku
sangat bersyukur. Sepanjang perjalanan aku tidak henti-hentinya
mengingat Tuhan. Karena aku merasa jarak dengan kematian sangat dekat
sekali. Dan ternyata Tuhan masih memberikanku umur yang panjang untuk
tiba kembali di tenda. Alhamdulilah..
Malam itu aku bisa tidur,
walaupun hanya sebentar, karena sakit kepala kembali menderaku.
Syukurnya sewaktu di atas sana ketika itu sakit kepalanya tidak terlalu
terasa. Sial, begadang lagi deh malam itu. Padahal tubuh sangat lelah
sekali.
5-7 Maret 2016….
Praktis sisa hari kami di
lembah kuning hanya diisi dengan kegiatan malas-malasan. Makan, minum,
bekerja sebagai guide, jalan-jalan di sekitar camp, berfoto, dan tidur.
Tentu saja toiletting adalah hal yang sering dilakukan. Dan membersihkan sampah masih rutin kami lakukan.
Harusnya kami turun di
tanggal 6, namun ternyata helicopter belum siap berangkat, dan
kepulangan pun ditunda sehari berikutnya. Aku sudah sangat-sangat bosan
di atas, karena kedinginan dan sakit kepala. Ujung-ujung jari tangan
bahkan mati rasa, dan itu terus kurasakan sampai aku menulis tulisan
ini, walaupun sekarang sudah agak berkurang.
Tanggal 7 kami pun bersiap pulang, helicopter
katanya sudah siap berangkat dari Timika. Kami direncanakan turun lewat
Timika, jadi tidak ke Nabire lagi. Namun hingga pukul delapan pagi, helicopter
yang ditunggu tidak muncul-muncul. Sempat timbul kekhawatiran
kepulangan ditunda lagi. Sementara logistik sudah habis, dan hanya
tersisa mie saja. Bahan bakar juga sudah hampir habis. Cuaca juga
perlahan-lahan gelap.
Akhirnya sekitar pukul
setengah sembilan, helicopter muncul juga. Ternyata heli tersebut
membawa tamu berikutnya yang akan mendaki Carstensz. Mereka rupanya dari
Adventure Consultants, aku langsung teringat kembali dengan Rob Hall.
Kami berangkat dengan heli sebanyak dua gelombang kembali. Dan sekitar
setengah jam perjalanan, sudah tiba di Timika. Alhamdulilah, merasakan
panas yang menyengat kembali, merasakan ketinggian dibawah 50 mdpl lagi.
Berakhir sudah perjalanan kami tersebut. Terbersit rasa haru dan penuh
kerinduan kembali suatu saat nanti ke Carstensz Pyramid. Namun untuk
saat sekarang, tidak dulu deh.
Ending….
Setelah semalam di Timika,
kami pun berangkat pulang ke Jakarta. Begitulah akhir perjalanan itu,
sekaligus akhir dari Ekspedisi Saptanusa yang kami emban. Misi yang kami
usung tercapai semua. Kami berhasil menggapai tujuh puncak tertinggi di
Indonesia. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa menurutku. Apalagi
setahun yang lalu, ini rasanya seperti mimpi buatku yang sangat sulit
untuk terwujud. Ternyata Tuhan memberikan jalan buatku untuk meraih
mimpiku ini.
Pelajaran yang aku dapatkan adalah, jangan pernah berhenti bermimpi. Berusahalah untuk menggapai mimpi tersebut, dan biarkan Tuhan yang memutuskan apakah kita layak untuk mencapainya. Di usiaku yang ke-26, aku berhasil menggapai puncak tertinggi di Indonesia. Ini adalah sebuah kisah yang tidak akan lekang oleh waktu. Aku akan dengan bangga bercerita tentang kisah ini kepada anak-anakku, atau kepada siapapun yang ingin mendengarnya kelak. Teruntuk buat STAPALA, aku sangat bangga telah membawa namamu ke puncak-puncak tertinggi di Indonesia, hal ini semoga menjadi langkah awal untuk meneruskan mimpi kita untuk berdiri dan mengibarkan bendera STAPALA di puncak-puncak tertinggi di dunia. Ini hanyalah awal.
Oh ya, aku berjanji untuk bercerita tentang quote dari Brice yah. Ini beberapa di antaranya:
“Safety is everything, you can search for money, but not life”. Quote ini terucap ketika kami berbincang mengenai Rob Hall, sang pendaki kenamaan yang meninggal dalam tragedi Everest tahun 1996. Rob Hall dan Brice merupakan sahabat dekat, dan mereka sama-sama berasal dari New Zealand. Aku sempat bertanya pada Brice, “Jika kamu berada di posisi Rob, same situation, same time, apa yang akan kamu lakukan?”. Brice dengan yakin menjawab bahwa safety adalah segalanya, Dia akan turun dan tidak akan memaksakan diri membawa tamu untuk naik ke puncak karena sudah ada kesepakatan waktu muncaknya. Bahkan akan memaksa tamu untuk turun. Karena uang masih bisa dicari dikemudian hari dan bisa mendaki lagi untuk menggapainya, namun tidak dengan nyawa.
Quote berikutnya yang aku ingat adalah ketika dia berujar,
“Every moment is important, there is no special one, so enjoy your every moment”. Ini dia ucapkan ketika aku bertanya kepadanya, momen mana yang paling special dalam perjalanannya yang sudah banyak. Brice ternyata tidak memiliki satu momen paling special, namun dia berujar, setiap momen yang dimilikinya adalah semuanya special. Jadi Brice berujar, nikmati semua waktu yang kamu miliki, setiap momen itu berharga.
Terakhir, “
Learn with experience, the more you have, the more you get the confidence and skill”. Ini Brice ucapkan di akhir perjalanan kami, ketika akan berpisah di hotel di Timika. Brice berpesan kepada kami, bahwa belajar itu tidak ada habisnya. Dengan semakin banyak mendaki, semakin banyak hal yang kita dapatkan, dan semakin timbul rasa percaya diri terhadap diri bahwa diri kita mampu untuk melewati rintangan yang timbul. Hal ini sangat memicu diriku untuk tidak berhenti mendaki gunung dan melakukan kegiatan outdoor. Semoga aku setidaknya bisa menggapai Everest, puncak tertinggi di dunia, suatu saat nanti, aamiin...
Bintaro, 7 Agustus 2016
-Patuan Handaka Pulungan-
085.643.455.685
D72E559E / 7A722B86
Instagram : instagram.com/xplore.wisata
Instagram : instagram.com/xplore.gunung
Instagram : instagram.com/syarifain
Fanspage Umum : facebook.com/xplore.wisata
Fanspage Gunung : facebook.com/xplore.gunung
Website :
Instagram : instagram.com/xplore.gunung
Instagram : instagram.com/syarifain
Fanspage Umum : facebook.com/xplore.wisata
Fanspage Gunung : facebook.com/xplore.gunung
Website :
#porter #guide #pemandu #transport lokal #rinjani 3.726 mdpl #semeru 3.676 mdpl #slamet 3.428 mdpl #lawu 3.265 mdpl #merbabu 3.145 mdpl #sindoro 3.150 mdpl #gunungprau 2.565 mdpl #gunungsikunir #porterrinjani #portersemeru #porterargopuro #portermerbabu #porterlawu #porterslamet #portersumbing #portersindoro #kaosadventure #kaosbacpacker #backpackerindonesia #opentripsemeru #opentripmerbabu #opentripkarimunjawa #opentriprinjani #cikuray #gede #parango #gunungsalak #bromo #karimunjawa #guapindul #raftingsungaielo #raftingelo #raftingprogo #tangkubanperahu
#derawan #belitung #pahawang #cartensz piramid, #trekkingcartensz #cartenz murah #sevensummit
Tags:
Gunung Cartenz