Pulau Muria Terpisah dari Pulau Jawa
Pulau Muria Terpisah dari Pulau Jawa
Fakta
yang mengejutkan, dan selama ini belum terlalu mengemuka, adalah Gunung
Muria dulu merupakan pulau yang terpisah dari Jawa. Sebelum abad ke-17,
Muria dan Jawa dihubungkan oleh sebuah selat.
Fakta
ini diungkap dalam kajian yang dilakukan HJ De Graaf dan Th G Pigeaud
(Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram;
Grafiti Pers, 1985), Pramoedya Ananta Toer (Jalan Raya Pos, Jalan
Daendels; Lentera Dipantara, 2005), serta Denys Lombard yang meluncurkan
dua serial bukunya (Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu;
Gramedia, 1996 a-b).
Bagian pertama tentang batas-batas pembaratan, dan bagian kedua tentang jaringan Asia.
Ketika
menggambarkan ekologi letak Demak, De Graaf dan Pigeaud menulis, {Pada
zaman dahulu, Distrik Demak terletak di pantai selat yang memisahkan
Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan
dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang
dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah
sejak abad ke-17, jalan pintas itu tak lagi dapat dilayari setiap saat{
(1985: 37).
Selanjutnya
disebutkan, pada abad ke-17, selama musim hujan orang dapat berlayar
dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari Jepara sampai
Pati, di tepi Sungai Juwana. Pada tahun 1657, Tumenggung Pati
mengumumkan niatnya untuk menggali saluran air baru dari Demak ke
Juwana, sehingga Juwana dapat menjadi pusat perdagangan. Boleh jadi, ia
ingin memulihkan jalan air lama, yang seabad sebelumnya masih bisa
dipakai.
Dua
sejarawan dari Belanda itu pun menggambarkan, Jepara terletak di
sebelah barat pegunungan yang dahulu adalah pulau (Muria). Jepara
mempunyai pelabuhan yang aman dan (semula) dilindungi tiga pulau kecil.
Letak
pelabuhan ini amat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang yang lebih
besar, yang berlayar lewat pantura Jawa menuju Maluku, dan kembali ke
barat.
Pada
abad ke-17, ketika jalan pelayaran pintas di sebelah selatan pegunungan
ini tidak lagi dapat dilayari perahu-perahu yang lebih besar, akibat
pendangkalan oleh endapan lumpur, Jepara pun menjadi Pelabuhan Demak.
Dan
yang menjadi penghubung antara Demak dan daerah pedalaman di Jateng
adalah Sungai Serang, yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak
dan Jepara. Sungai Serang pada abad ke-18 masih dapat dilayari
perahu-perahu dagang yang agak kecil, setidaknya hingga Godong (kini
wilayah Kabupaten Grobogan).
De
Graaf dan Pigeaud (1985: 157) berani berspekulasi, daerah hulu Sungai
Lusi atau Serang kini bermuara di Laut Jawa, selatan Jepara. Mungkin
sungai ini dulu bermuara di selat yang dangkal yang melintasi Demak,
Pati, dan Juwana, serta memisahkan Pulau Muria dari daratan Jawa.
Sejarawan
Prancis, Denys Lombard, juga punya kajian menarik. Menurutnya, di
sebelah timur Semarang terdapat Gunung Muria (1.602 m), sebuah gunung
api yang sudah tidak aktif lagi dan dulu merupakan sebuah pulau (1996a:
37)
Lombard
melukiskan, kota-kota di sepanjang pantura timur Jawa Tengah (Demak,
Jepara, Kudus, Pati, Juwana, dan Rembang) adalah pusat perniagaan laut
yang ramai pada abad ke-16. Pada buku keduanya (1996b: 52), dia menulis,
{Daerah kunci pesisir waktu itu terletak kira-kira di bagian tengahnya,
sebelah-menyebelah selat yang ketika itu memisahkan Muria dari daratan
Jawa, dan yang merupakan jalan lintas alami tempat kapal-kapal dapat
berlabuh. Pusat perekonomian, politik, dan keagamaan adalah Demak yang
diperintah Pangeran Trenggana (1504-1546)}.
Masih
tentang Pulau Muria, Lombard mengatakan, pada tahun 1940 Orsoy de
Flines memulai penelitian sistematis di perbukitan Grobogan yang
terbentuk dari endapan tersier, antara Semarang dan Blora. Pada zaman
dulu, saat Gunung Muria masih berupa pulau, letak bukit-bukit di
sekitarnya berdekatan dengan laut. Sekarang letak daerah ini agak jauh
dari tepi laut.
Berdasarkan
studi-studi sejarah terdahulu, Lombard bahkan berani berspekulasi jika
daerah genangan air terusan dari pantai mencapai Kuwu (wilayah Kabupaten
Grobogan).
Pada
tahun 1967, R Soekmono membicarakan lagi beberapa kesimpulan dari
laporan Orsoy de Flines dan coba menelusuri kembali tepi pantai lama,
serta meyakini Kota Medang Kuno yang sering disebut dalam berbagai
prasasti abad ke-9 dan ke-10 —bahkan masih dikenang dalam beberapa
dongeng— terletak di tepi Sungai Lusi, di selatan bukit-bukit Grobogan,
dekat Desa Kuwu sekarang.
Di
situlah agaknya terletak kota pelabuhan itu, pada bagian dalam muara
yang dapat dimasuki kapal, tetapi jauh dari bangunan-bangunan suci di
dataran Kedu. Untuk mendukung hipotesis yang baru dapat dibenarkan
setelah diadakan penggalian sistematis di daerah itu, Soekmono
mengingatkan suatu kutipan dalam Xin Tangshu tentang {sumber air asin
alami{ yang menyangkut He-ling. Perlu diketahui, satu-satunya sumber air
asin alami di Jawa itu hanya ada di Kuwu, dekat Sungai Lusi, tempat
para petani mengambil garamnya sampai sekarang.
Jalan Raya Daendels
Kajian
yang lebih mutakhir tentang kondisi sepanjang jalan raya pantura timur
Jawa Tengah dilakukan Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1995, dan
diterbitkan dalam buku berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Pram
menulis, Jalan Raya Daendels membentang 1.000 kilometer sepanjang utara
Jawa, dari Anyer sampai Panarukan.
Sejak
digunakan tahun 1809, jalan ini menjadi infrastruktur penting untuk
selamanya. Jalan Daendels dibangun selama satu tahun (5 Mei 1808-1809).
Menurut sumber Inggris, pembangunan jalan melalui kerja paksa (Rodi) ini
menewaskan 12.000 orang rakyat kecil pribumi.
Yang
menarik, Pram melukiskan jarak antara Jalan Raya Pos dan garis pantai.
{Yang ada, barang dua ratus meter dari Jalan Raya Pos, di utara
alun-alun Rembang, adalah jangkar besi yang cukup besar berdiri miring,
dipagari kayu. Orang percaya, itulah jangkar salah satu dari 26 kapal
armada Laksamana Besar Cheng Ho, yang berawak 1.000 orang setiap kapal,
satu abad sebelum Belanda menjejakkan kakinya di Bumi Jawa (2005:
11-12)}.
Terakhir
kali Pram melihat jangkar itu pada penghujung tahun 1930-an. Kini
jangkar itu terletak di kawasan wisata Pantai Taman Kartini, persis di
sisi utara jalan raya tengah Kota Rembang. Mengenai kondisi tanah yang
dihadapi Daendels, Pram (2005: 26) bercerita, {Sedang waktu menggarap
ruas Demak-Kudus memotong semenanjung Muria/Jepara, para pekerja
berkaparan dalam meninggikan tanah di rawa-rawa Karanganyar
(Demak—penulis), baik karena kelelahan, perlakuan keras, maupun malaria
yang berabad menghantui Karanganyar.
Malahan
semasa mengerjakan ruas ini, rawa-rawa Karanganyar sebagian merupakan
tepian laut yang menjorok ke darat, lingkungan alam yang cocok jadi
habitat buaya}. Disebutkan juga, saat pembangunan Jalan Raya Daendels
sampai ke Demak, sejumlah besar sungai pantai kecil-mengecil mengadang
para pekerja. Bahkan Demak dibelah Kali Tuntang yang sedang-sedang saja.
Kendala lain, sebagian lokasi merupakan laut pedalaman, atau
teluk-teluk dangkal, sehingga harus dilakukan pengurukan.
Daendels
pun memutar otak, mencari strategi dalam menghadapi medan genangan air,
untuk pembangunan jalan raya ini. Ia lalu memerintahkan penggalian
kanal di utara jalan raya, bukan saja untuk mendapatkan tanah urukan,
tetapi juga untuk menghubungkan Kali Serang di timur dan Kali Tuntang di
barat. Daendels boleh bangga, karena mampu {mengeringkan sekitar 36.000
bau rawa dan diubah menjadi sawah. Meski demikian, kata Pram (2005:
94)}, banjir dan air genangan tetap mengancam wilayah rendah ini, baik
selama dan setelah Daendels.
Banjir Semarang
Tentang
Semarang yang juga selalu dihantui banjir, Pram menggambarkan, {Sejak
dulu Semarang adalah daerah genangan Kali Garang. Untuk menyelamatkan
kota yang berkembang di bidang ekonomi, industri dan administrasi,
Belanda memotong sungai ini sebelum memasuki kota dalam bentuk kanal
banjir, menjurus lurus ke utara sampai ke laut, dinamai Banjirkanal
Barat. Sebab di timur kota juga digali yang lain, Banjirkanal Timur,
untuk membuang luapan Kali Gempol (2005: 87-88)} .
Tetapi
ruas Kali Garang yang memasuki kota tetap mengancam Semarang sebagai
daerah genangannya di musim hujan. Ruas sungai ini dinamai Kali
Semarang. Secara periodik, biar pun telah ada kanal banjir di barat dan
timur, Semarang tetap terkena banjir 30 tahunan. Dari sejumlah kajian
sejarah tersebut dapat diperoleh gambaran, ruas jalan raya sepanjang
pantura timur Jateng dulu adalah daerah genangan air. Wilayah ini,
sebelum abad ke-17, adalah daerah perairan berupa selat yang
menghubungkan Pulau Muria dan Pulau Jawa.
Ketika
jaringan jalan raya Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels melintasi
Semarang-Demak-Kudus, rupanya sebagian besar merupakan daerah rawa, bisa
jadi hasil pengendapan selat setelah abad ke-17. Dengan kata lain,
struktur tanah di jalur Semarang-Demak-Kudus, Kudus-Pati-Rembang, dan
Semarang-Demak-Grobogan adalah tanah muda yang belum stabil, sehingga
rawan banjir, bergelombang, dan rawan amblas.
Hasyim Asy’ari SH MSi, pemerhati lingkungan
diambil dari salah satu artikel.suaramerdeka.com.
Posted by candra aditya on Selasa, 12 Agustus 2014 - Rating: 4.5
Title : Pulau Muria Terpisah dari Pulau Jawa
Description : Pulau Muria Terpisah dari Pulau Jawa Fakta yang mengejutkan, dan selama ini belum terlalu mengemuka, adalah Gunung Muria dulu merupaka...
Description : Pulau Muria Terpisah dari Pulau Jawa Fakta yang mengejutkan, dan selama ini belum terlalu mengemuka, adalah Gunung Muria dulu merupaka...
Sumber :
http://candradityaa.blogspot.co.id
Call Center,
085.643.455.685
D72E559E / 7A722B86
Instagram : instagram.com/xplore.wisata
Instagram : instagram.com/xplore.gunung
Instagram : instagram.com/syarifain
Fanspage Umum : facebook.com/xplore.wisata
Fanspage Gunung : facebook.com/xplore.gunung
Website :
Instagram : instagram.com/xplore.gunung
Instagram : instagram.com/syarifain
Fanspage Umum : facebook.com/xplore.wisata
Fanspage Gunung : facebook.com/xplore.gunung
Website :