Pemandu dan Porter Gunung Slamet Via Jalur Baturaden
Menyusuri Baturaden menuju Gunung Slamet, Bisa!
Suminar Inar - d'Traveler
- Minggu, 05/07/2015 14:37:00 WIB
detikTravel Community - Berpetualang
mendaki gunung sudah menjadi hobi bagi sebagian traveler. Satu yang
wajib dicoba saat liburan adalah mendaki Gunung Slamet lewat Baturaden.
Dijamin seru dan menantang!
Saya, Rully beserta Tresna dan Eko semula berencana mendaki Gunung Semeru namun terpaksa harus dibatalkan karena lokasi gunung ditutup akibat cuaca tidak bersahabat. Gunung Raung dan Gunung Argopuro menjadi pilihan kami berikutnya. Sayangnya kami harus mengurungkan niat untuk kedua kalinya karena tiket kereta api tidak berhasil kami dapatkan. Dan akhirnya, Gunung Slamet menjadi pilihan terakhir.
Dengan fasilitas internet, kami mencoba mencari rute ke Gunung Slamet. Ada dua rute untuk menuju ke sana. Yang pertama jalur Bambangan, namun jalur ini sulit dijangkau transportasi. Jalur yang kedua adalah Baturaden yang menjadi pilihan kami karena sudah dekat dengan Stasiun Purwokerto.
Keberangkatan kami dilaksanakan pada hari pertama Idul Fitri tahun 2010. Sore itu sekitar pukul empat, kami bertiga meluncur ke Stasiun Pasar Senen untuk naik Kereta Api Progo kelas ekonomi menuju Lempuyangan berangkat pukul sepuluh malam. Setibanya di Stasiun Purwokerto pada pukul lima pagi, kami menyempatkan diri untuk mandi dan sarapan terlebih dahulu sebelum melanjutkan petualangan kami.
Kami lalu bergegas menuju Terminal Purwokerto untuk melanjutkan perjalanan menuju Baturaden. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 2,5 jam. Sesampainya di Baturaden kami bertemu dengan Sally, team dari Radenpala. Sally mengantar kami untuk melakukan registrasi di base camp Baturaden.
Menurut buku registrasi, dalam empat bulan terakhir peserta pendaki tidak lebih dari dua puluh orang. Di tempat registrasi, kami berkenalan dengan Mas Rio, salah seorang pendaki dari Radenpala. Kopi hangat menemani perbincangan kami. Tak lama kami pun diberi pengarahan oleh tim Radenpala mengenai jalur Baturaden ini.
Hujan deras mengiringi awal pendakian kami siang itu. Kami melewati Pancuran Tujuh yang ada di Baturaden. Sebagai informasi, Baturaden berada pada ketinggian 600 mdpl, sementara puncak Gunung Slamet berada pada ketinggian 3.428 mdpl. Gunung ini menjadi gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru.
Jalur ini dipenuhi pacet atau lintah karena kondisi alam sekitar yang sangat lembab. Maka itu kami menyiapkan sabun colek untuk menghindari pacet. Jalur ini pun tidak lebar karena dipenuhi semak-semak. Kondisi fisik yang prima sangat dibutuhkan dalam jalur pendakian ini. Target kami hari itu adalah Plawangan yang berada sekitar 3.000 mdpl yang dalam kondisi normal dapat ditempuh sekitar sebelas sampai dua belas jam.
Kami pun tiba di pos kedua setelah 3,5 jam perjalanan. Hujan sudah mereda. Kami beristirahat sejenak sambil menyeruput kopi panas yang baru saja kami buat. Karena mata air ada di pos kedua ini, maka kami sepakat mendirikan tenda untuk bermalam di pos kedua. Oh ya, menurut informasi dari tim Radenpala, di hari-hari tertentu ada pasar setan di pos kedua ini.
Pukul delapan pagi keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju pos ketiga. Perjalanan mulai terasa berat karena kondisi jalan sudah mulai menanjak ditambah pacet yang sangat banyak. Sebentar-sebentar kami harus mengecek kaki dan sepatu kami karena pacet-pacet sudah pasti ada yang menempel di sana. Kami pun mengoleskan sabun colek yang sebelumnya sudah kami persiapkan ke kaki kami.
Sekitar setengah satu siang, kami tiba di pos bayangan tiga. Di sini harusnya ada sumber mata air, sayangnya mata air sedang dalam kondisi kering. Kami sempat panik karena persediaan air kami hanya tersisa 1.5 liter. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami setelah beristirahat sejenak. Dan hujan lagi-lagi menemani selama dua jam perjalanan kami menuju pos ketiga.
Pendakian paling berat adalah saat menuju pos keempat. Dua setengah jam kami bertarung melewati jalan yang curam dan terjal untuk tiba di pos keempat. Kami berjalan dengan tenaga ekstra dan juga kehati-hatian yang ekstra pula. Udara sore hari itu sangatlah dingin. Kabut sedikit menghalangi pemandangan kami. Angin tak hanya menyapa kulit kami, tapi juga menembus tulang kami. Tujuh derajat celcius! Kami pun menyiapkan tenda untuk bermalam dan memasak sop serta menggoreng nugget untuk mengisi perut kami yang sudah lapar. Kami pun terlelap.
Pagi keesokannya kami melanjutkan perjalanan ke Plawangan yang merupakan batas vegetasi di Gunung Slamet. Jalur dari pos keempat menuju Plawangan tak kalah menantangnya. Jalur semakin menanjak dan banyak pohon yang tumbang. Kami harus merangkak untuk melaluinya. Untung saja, pacet sudah tidak ada di jalur ini. Sebelum tiba di Plawangan, kami menemukan padang rumput yang luas. Sebenarnya, ini adalah bukit yang ditumbuhi rumput liar. Dari sini pula kami dapat melihat jelas puncak Gunung Slamet.
Menjelang siang, kami tiba di Plawangan. Tresna sigap mencari air, sementara Saya dan Eko mendirikan tenda. Angin bertiup sangat kencang. Bersyukur Tresna berhasil mendapatkan air dari sumber mata air. Jika tidak, kami mungkin terpaksa turun lagi ke pos kedua.
Hari ketiga pendakian kami isi dengan berleha-leha, foto-foto bahkan masak-masak dengan kompor baru. Sore harinya kami naik sedikit ke areal berbatu guna melihat indahnya matahari terbenam. Sayang langit sore itu tidak mengizinkan kami. Pelabuhan Cilacap kota Purwokerto dan laut tidak nampak jelas karena kabut menghalangi. Kami pun beristirahat dalam lelapnya tidur, menyiapkan tenaga untuk pendakian ke puncak esok hari.
Pagi-pagi buta di hari keempat, kami sudah bangun dan bersiap untuk muncak. Angin kencang datang dari puncak gunung menerpa wajah kami. Kami bertahan. Ya, kami harus bertahan untuk dapat mencapai puncak Gunung Slamet. Jalan yang penuh batu kerikil dan menaik tajam ditambah oksigen yang semakin tipis membuat perjalanan kami terasa berat. Tapi sekali lagi kami harus bertahan karena puncak keindahan Gunung Slamet
sudah di depan mata.
Kurang lebih empat puluh lima menit perjalanan awal kami menujupuncak. Semangat kami sedikit luntur karena kondisi alam yang tidak memungkinkan. Angin yang membawa asap belerang mau tak mau terus kami hirup. Napas kami tersesak. Telinga kami berdengung seperti mau pecah.
Darah segar sempat mengalir di hidung kami. Kami pun beristirahat sejenak.
Dengan sisa-sisa semangat kami melanjutkan perjalanan kami. Matahari terbit menjadi saksi kami yang sudah tiba di puncak Gunung Slamet. Ini kali pertamanya kami bertiga menikmati matahari terbit. Setelah puas menikmati sunrise dan pemandangan dari atas puncak Gunung Slamet kami kemudian turun lagi ke Plawangan tempat kami mendirikan tenda. Kami beristirahat sambil menikmati makan siang kami sebelum melanjutkan turun ke Lokawisata Baturaden.
Menjelang penghujung hari kami sudah tiba di Baturaden dan langsung menuju base camp Radenpala untuk bermalam, melepaskan otot-otot kami yang sudah lelah dan kaku. Keesokan harinya kami pamit pada tim Radenpala untuk bergegas pulang menuju kota tinggal kami, Tangerang.
Bagi teman-teman yang ingin mendaki Gunung Slamet, saya sarankan untuk membawa pemandu atau orang yang sudah pernah mendaki lewat jalur ini karena banyak jalur bercabang pencari burung yang dapat membuat kalian tersesat di sepanjang perjalanan. Selain itu, jalur Baturaden cukup menantang.
Saya, Rully beserta Tresna dan Eko semula berencana mendaki Gunung Semeru namun terpaksa harus dibatalkan karena lokasi gunung ditutup akibat cuaca tidak bersahabat. Gunung Raung dan Gunung Argopuro menjadi pilihan kami berikutnya. Sayangnya kami harus mengurungkan niat untuk kedua kalinya karena tiket kereta api tidak berhasil kami dapatkan. Dan akhirnya, Gunung Slamet menjadi pilihan terakhir.
Dengan fasilitas internet, kami mencoba mencari rute ke Gunung Slamet. Ada dua rute untuk menuju ke sana. Yang pertama jalur Bambangan, namun jalur ini sulit dijangkau transportasi. Jalur yang kedua adalah Baturaden yang menjadi pilihan kami karena sudah dekat dengan Stasiun Purwokerto.
Keberangkatan kami dilaksanakan pada hari pertama Idul Fitri tahun 2010. Sore itu sekitar pukul empat, kami bertiga meluncur ke Stasiun Pasar Senen untuk naik Kereta Api Progo kelas ekonomi menuju Lempuyangan berangkat pukul sepuluh malam. Setibanya di Stasiun Purwokerto pada pukul lima pagi, kami menyempatkan diri untuk mandi dan sarapan terlebih dahulu sebelum melanjutkan petualangan kami.
Kami lalu bergegas menuju Terminal Purwokerto untuk melanjutkan perjalanan menuju Baturaden. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 2,5 jam. Sesampainya di Baturaden kami bertemu dengan Sally, team dari Radenpala. Sally mengantar kami untuk melakukan registrasi di base camp Baturaden.
Menurut buku registrasi, dalam empat bulan terakhir peserta pendaki tidak lebih dari dua puluh orang. Di tempat registrasi, kami berkenalan dengan Mas Rio, salah seorang pendaki dari Radenpala. Kopi hangat menemani perbincangan kami. Tak lama kami pun diberi pengarahan oleh tim Radenpala mengenai jalur Baturaden ini.
Hujan deras mengiringi awal pendakian kami siang itu. Kami melewati Pancuran Tujuh yang ada di Baturaden. Sebagai informasi, Baturaden berada pada ketinggian 600 mdpl, sementara puncak Gunung Slamet berada pada ketinggian 3.428 mdpl. Gunung ini menjadi gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru.
Jalur ini dipenuhi pacet atau lintah karena kondisi alam sekitar yang sangat lembab. Maka itu kami menyiapkan sabun colek untuk menghindari pacet. Jalur ini pun tidak lebar karena dipenuhi semak-semak. Kondisi fisik yang prima sangat dibutuhkan dalam jalur pendakian ini. Target kami hari itu adalah Plawangan yang berada sekitar 3.000 mdpl yang dalam kondisi normal dapat ditempuh sekitar sebelas sampai dua belas jam.
Kami pun tiba di pos kedua setelah 3,5 jam perjalanan. Hujan sudah mereda. Kami beristirahat sejenak sambil menyeruput kopi panas yang baru saja kami buat. Karena mata air ada di pos kedua ini, maka kami sepakat mendirikan tenda untuk bermalam di pos kedua. Oh ya, menurut informasi dari tim Radenpala, di hari-hari tertentu ada pasar setan di pos kedua ini.
Pukul delapan pagi keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju pos ketiga. Perjalanan mulai terasa berat karena kondisi jalan sudah mulai menanjak ditambah pacet yang sangat banyak. Sebentar-sebentar kami harus mengecek kaki dan sepatu kami karena pacet-pacet sudah pasti ada yang menempel di sana. Kami pun mengoleskan sabun colek yang sebelumnya sudah kami persiapkan ke kaki kami.
Sekitar setengah satu siang, kami tiba di pos bayangan tiga. Di sini harusnya ada sumber mata air, sayangnya mata air sedang dalam kondisi kering. Kami sempat panik karena persediaan air kami hanya tersisa 1.5 liter. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami setelah beristirahat sejenak. Dan hujan lagi-lagi menemani selama dua jam perjalanan kami menuju pos ketiga.
Pendakian paling berat adalah saat menuju pos keempat. Dua setengah jam kami bertarung melewati jalan yang curam dan terjal untuk tiba di pos keempat. Kami berjalan dengan tenaga ekstra dan juga kehati-hatian yang ekstra pula. Udara sore hari itu sangatlah dingin. Kabut sedikit menghalangi pemandangan kami. Angin tak hanya menyapa kulit kami, tapi juga menembus tulang kami. Tujuh derajat celcius! Kami pun menyiapkan tenda untuk bermalam dan memasak sop serta menggoreng nugget untuk mengisi perut kami yang sudah lapar. Kami pun terlelap.
Pagi keesokannya kami melanjutkan perjalanan ke Plawangan yang merupakan batas vegetasi di Gunung Slamet. Jalur dari pos keempat menuju Plawangan tak kalah menantangnya. Jalur semakin menanjak dan banyak pohon yang tumbang. Kami harus merangkak untuk melaluinya. Untung saja, pacet sudah tidak ada di jalur ini. Sebelum tiba di Plawangan, kami menemukan padang rumput yang luas. Sebenarnya, ini adalah bukit yang ditumbuhi rumput liar. Dari sini pula kami dapat melihat jelas puncak Gunung Slamet.
Menjelang siang, kami tiba di Plawangan. Tresna sigap mencari air, sementara Saya dan Eko mendirikan tenda. Angin bertiup sangat kencang. Bersyukur Tresna berhasil mendapatkan air dari sumber mata air. Jika tidak, kami mungkin terpaksa turun lagi ke pos kedua.
Hari ketiga pendakian kami isi dengan berleha-leha, foto-foto bahkan masak-masak dengan kompor baru. Sore harinya kami naik sedikit ke areal berbatu guna melihat indahnya matahari terbenam. Sayang langit sore itu tidak mengizinkan kami. Pelabuhan Cilacap kota Purwokerto dan laut tidak nampak jelas karena kabut menghalangi. Kami pun beristirahat dalam lelapnya tidur, menyiapkan tenaga untuk pendakian ke puncak esok hari.
Pagi-pagi buta di hari keempat, kami sudah bangun dan bersiap untuk muncak. Angin kencang datang dari puncak gunung menerpa wajah kami. Kami bertahan. Ya, kami harus bertahan untuk dapat mencapai puncak Gunung Slamet. Jalan yang penuh batu kerikil dan menaik tajam ditambah oksigen yang semakin tipis membuat perjalanan kami terasa berat. Tapi sekali lagi kami harus bertahan karena puncak keindahan Gunung Slamet
sudah di depan mata.
Kurang lebih empat puluh lima menit perjalanan awal kami menujupuncak. Semangat kami sedikit luntur karena kondisi alam yang tidak memungkinkan. Angin yang membawa asap belerang mau tak mau terus kami hirup. Napas kami tersesak. Telinga kami berdengung seperti mau pecah.
Darah segar sempat mengalir di hidung kami. Kami pun beristirahat sejenak.
Dengan sisa-sisa semangat kami melanjutkan perjalanan kami. Matahari terbit menjadi saksi kami yang sudah tiba di puncak Gunung Slamet. Ini kali pertamanya kami bertiga menikmati matahari terbit. Setelah puas menikmati sunrise dan pemandangan dari atas puncak Gunung Slamet kami kemudian turun lagi ke Plawangan tempat kami mendirikan tenda. Kami beristirahat sambil menikmati makan siang kami sebelum melanjutkan turun ke Lokawisata Baturaden.
Menjelang penghujung hari kami sudah tiba di Baturaden dan langsung menuju base camp Radenpala untuk bermalam, melepaskan otot-otot kami yang sudah lelah dan kaku. Keesokan harinya kami pamit pada tim Radenpala untuk bergegas pulang menuju kota tinggal kami, Tangerang.
Bagi teman-teman yang ingin mendaki Gunung Slamet, saya sarankan untuk membawa pemandu atau orang yang sudah pernah mendaki lewat jalur ini karena banyak jalur bercabang pencari burung yang dapat membuat kalian tersesat di sepanjang perjalanan. Selain itu, jalur Baturaden cukup menantang.
Sumber :
Tags:
Gunung Slamet