Basah, berlumpur, dan bau guano yang menyengat, begitulah keadaan gua dengan kedalaman ± 70m dari permukaan tanah ini. Upaya menelusurinya tak semudah yang dibayangkan. Banjir dan kondisi fisik yang lelah menjadi hambatan yang cukup berarti. Namun, bukankah semangat adalah inti dari semua perjuangan?
Sore itu,26 Desember 2010, hujan deras dan angin menemani kami selama perjalanan kami menuju Goa Ngeleng, kecamatan Paliyan, Gunung Kidul. Berenam kami , aku, Uut, Hafidh, Ami, Satrio, dan Indra berangkat dari sekretariat Mapala Silvagama dengan menggunakan sepeda motor.Kurang lebih satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Desa Mulusan dimana Goa Ngeleng berada, di tengah hutan jati kurang lebih 1 km dari jalan raya.
Landasan sepeda motor yang tadinya aspal mulus kini berganti menjadi tanah berbatu yang becek.Kondisi cuaca yang hujan memperparah kondisi jalanan. Beberapa kali ban sepeda motor kami selip dan terpeleset karena jalanan yang licin, hingga akhirnya motor benar benar sudah tidak bisa dinaiki, dan dengan terpaksa kami menuntun motor dan menggotong barang hingga mendekati mulut goa.
cahaya matahari sudah mulai pudar saat kami tiba di mulut Goa. Gelap yang mulai turun menyadarkan insting para kelelawar, mamalia bersayap penghuni goa itu untuk keluar mencari makanan. Ribuan kelelawar tersebut terbang berputar putar di entrance gua dengan diameter kira kira 100 m tersebut.Bunyi suara mereka yang bising tersebut seakan menyambut kedatangan kami ditempat itu. Kami sejenak terdiam, terkagum kagum akan atraksi yang luar biasa tersebut, hingga tak sadar hari sudah gelap dan kami harus mendirikan tenda untuk tidur malam ini.
Sore itu,26 Desember 2010, hujan deras dan angin menemani kami selama perjalanan kami menuju Goa Ngeleng, kecamatan Paliyan, Gunung Kidul. Berenam kami , aku, Uut, Hafidh, Ami, Satrio, dan Indra berangkat dari sekretariat Mapala Silvagama dengan menggunakan sepeda motor.Kurang lebih satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Desa Mulusan dimana Goa Ngeleng berada, di tengah hutan jati kurang lebih 1 km dari jalan raya.
Landasan sepeda motor yang tadinya aspal mulus kini berganti menjadi tanah berbatu yang becek.Kondisi cuaca yang hujan memperparah kondisi jalanan. Beberapa kali ban sepeda motor kami selip dan terpeleset karena jalanan yang licin, hingga akhirnya motor benar benar sudah tidak bisa dinaiki, dan dengan terpaksa kami menuntun motor dan menggotong barang hingga mendekati mulut goa.
cahaya matahari sudah mulai pudar saat kami tiba di mulut Goa. Gelap yang mulai turun menyadarkan insting para kelelawar, mamalia bersayap penghuni goa itu untuk keluar mencari makanan. Ribuan kelelawar tersebut terbang berputar putar di entrance gua dengan diameter kira kira 100 m tersebut.Bunyi suara mereka yang bising tersebut seakan menyambut kedatangan kami ditempat itu. Kami sejenak terdiam, terkagum kagum akan atraksi yang luar biasa tersebut, hingga tak sadar hari sudah gelap dan kami harus mendirikan tenda untuk tidur malam ini.
Hujan Deras, Banjir Datang
Esok harinya, kami bangun pagi pagi sekali untuk persiapan alat dan sarapan. Nasi sayur dan telur dadar ditambah dengan segelas susu hangat terasa sungguh nikmat disantap di pagi hari di alam terbuka seperti ini. Kami makan dengan lahap, menimbun kalori untuk kegiatan hari ini. Setelah sarapan kami beranjak untuk menyiapkan peralatan yang akan dibawa dalam penelusuran nanti.
Goa Ngeleng sendiri memiliki dua buah pintu masuk atau entrance, yaitu entrance horizontal dan entrance vertical.Entrance vertikalnya berada beberapa meter disebelah tenda kami, sedangkan untuk mencapai entrance horizontalnya kami harus memutar dan berjalan kaki kira kira 15 menit dari tenda. Sesuai briefing tadi malam, hari ini kami berlima yaitu aku, Uut, Hafidh, Ami, Satrio akan menelusuri goa ini dari entrance horizontalnya dan Indra menjadi penunggu basecamp
Entrance horizontal ini berbentuk seperti segitiga yang tepat berada di aliran sungai. Berjarak kurang lebih seratus meter dari entrance horizontal, kami menjumpai entrance kedua, yaitu sebuah runtuhan tanah kapur yang membentuk lubang dengan diameter ±150 meter. Di dasar lubang tersebut, tempat kami berdiri, telah ditumbuhi berbagai vegetasi dengan tingkat densitas dan keragaman yang cukup tinggi. Selain itu hidup pula berbagai jenis satwa. Kami mengambil sampel beberapa jenis serangga yang ditemui untuk diteliti dan diidentifikasi jenisnya .
Hujan mulai turun saat kami berjalan mengikuti aliran sungai, namun team tetap melanjutkan penelusuran. Memasuki zona senja, aroma khas guano, kotoran kelelawar, mulai terasa menusuk hidung, namun itu bukan merupakan suatu penghalang buat kami. Kami tetap melanjutkan penelusuran.
Namun agaknya cuaca hari ini sedang tak bersahabat. Hujan turun bertambah lebat. Air sungai berubah menjadi berwarna coklat dan bertambah deras. Tinggi muka air yang tadinya hanya sebetis kita naik menjadi setinggi pinggang.
“Banjir cah, kita harus segera keluar dari sini”teriak Uut, koordinator team, ditengah suara arus air yang bergemuruh deras.
Akhirnya, sebelum memasuki zona gelap, kami memutuskan untuk kembali ke atas. Dengan susah payah kami berjalan melawan arus air sungai. Jam 2 siang kami tiba kembali di basecamp. Untuk hari ini, penelusuran Goa Ngeleng kami hentikan sementara.
Kelelawar, Guano, dan …..
Hari ke 2 penelusuran, kami memutuskan untuk memasuki gua melalui medan vertikal dengan menggunakan metode single rope technique.Medan vertical sedalam ± 70 meter ini akan kami turuni dengan sebuah tali. Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan oleh penelusur penelusur goa di Indonesia. Hari ini, lagi lagi Uut didaulat menjadi rigging man, orang yang bertugas memasang lintasan tali.
Satu per satu kami menuruni lintasan tali, dan mendarat beberapa puluh meter dari titik kami memutuskan untuk kembali ke atas pada hari sebelumnya. Dari situ kami mulai melakukan penelusuran kembali.
Kali ini cuaca cukup cerah, debit airpun sudah normal kembali.Perlahan lahan kami berjalan menyusuri aliran sungai masuk kedalam goa. Rupanya, cuaca yang cerah membuat udara di bawah bergerak naik keatas. Akibatnya, memasuki zona senja, bau guano terasa sangat menyengat hidung. Perut terasa mual, dan tak dapat ditahan, beberapa anggota team muntah ditempat. Setelah mengamati sekeliling, baru kami sadar, bahwa guano di tempat itu sangat tebal,kira kira semata kaki tingginya, ditambah lagi yang menempel di dinding gua dan mengapung di aliran sungai. Benar benar luar biasa.
Makin kedalam, hidung kami mulai mampu beradaptasi dengan bau guano ini. Rupa rupanya,Kelelawar di goa ini memang sangat banyak jumlahnya. Terlalu banyak, bahkan mereka tak hanya mendiami langit langit goa, tapi juga bergantungan di boulder boulder dan dinding goa. Pantas saja guano yang dihasilkan sebanyak itu.
Namun kelelawar bukanlah penghuni satu satunya dalam lorong gelap ini. Dalam kegelapan, kami menjumpai beberapa jenis serangga seperti jangkrik gua, kala cemeti dan beberapa jenis lainnya. Untuk keperluan identifikasi, kami mengambil sampel dari satwa satwa yang kami temui tersebut.
Kami terus berjalan meyusuri lorong gelap ini. Beberapa kali melewati chamber chamber besar, akhirnya lorong ini menyempit. Air sungai ini masuk kedalam lorong setinggi ± 70 cm dengan kedalaman air kira kira setinggi betis orang dewasa. Berjalan jongkok, kami menelusuri lorong berair ini dengan hati hati.
Lorong ini dipenuhi dengan guano yang sangat tebal. Guano yang mengapung saja kira kira setebal 2 cm. Ditambah dengan guano yang sudah mengendap di dasar lorong. Posisi berjalan jongkok membuat posisi hidung dengan sumber bau ini menjadi sangat dekat. Dapat dibayangkan, bau guano ini menjadi sangat menusuk hidung, dan sangat menggangu pernapasan kami.
Lorong ini makin lama makin menyempit. Kira kira 30 meter dari awal penyempitan lorong, dalam posisi berjongkok , tinggi air sudah berada di dagu kami. Lorong ini tak bisa lagi ditelusuri dengan jalan jongkok. Jika ingin menelusurinya, kita harus merangkak dan merayap perlahan lahan. Tajamnya aroma guano ini membuat kami merasa tak sanggup untuk meneruskan penelusuran dengan merayap. Akhirnya, kami memutuskan untuk menyudahi penelusuraan Goa Ngeleng ini. Pukul 3 siang seluruh anggota team sampai di basecamp.
Kelelahan tak kami pedulikan. Yang ada hanya rasa senang, rasa senang bisa belajar dari alam. Terngiang sebuah ujar ujar yang lazim terdengar di kalangan para pecinta alam.”Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill noting but time”. Kurasakan bahwa kata kata itu sudah tidak cukup relevan lagi dengan visi dan misi kami, Mapala Silvagama, dan konsep pecinta alam saat ini
Dalam pikiranku saat ini, ujar ujar itu kuubah. “Take nothing but knowledge, leave nothing but goodness, and kill nothing but fear”. Ya, ambillah pengetahuan, tinggalkanlah kebaikan, dan bunuhlah ketakutan ketakutan.
MSG 623
Goa Ngeleng sendiri memiliki dua buah pintu masuk atau entrance, yaitu entrance horizontal dan entrance vertical.Entrance vertikalnya berada beberapa meter disebelah tenda kami, sedangkan untuk mencapai entrance horizontalnya kami harus memutar dan berjalan kaki kira kira 15 menit dari tenda. Sesuai briefing tadi malam, hari ini kami berlima yaitu aku, Uut, Hafidh, Ami, Satrio akan menelusuri goa ini dari entrance horizontalnya dan Indra menjadi penunggu basecamp
Entrance horizontal ini berbentuk seperti segitiga yang tepat berada di aliran sungai. Berjarak kurang lebih seratus meter dari entrance horizontal, kami menjumpai entrance kedua, yaitu sebuah runtuhan tanah kapur yang membentuk lubang dengan diameter ±150 meter. Di dasar lubang tersebut, tempat kami berdiri, telah ditumbuhi berbagai vegetasi dengan tingkat densitas dan keragaman yang cukup tinggi. Selain itu hidup pula berbagai jenis satwa. Kami mengambil sampel beberapa jenis serangga yang ditemui untuk diteliti dan diidentifikasi jenisnya .
Hujan mulai turun saat kami berjalan mengikuti aliran sungai, namun team tetap melanjutkan penelusuran. Memasuki zona senja, aroma khas guano, kotoran kelelawar, mulai terasa menusuk hidung, namun itu bukan merupakan suatu penghalang buat kami. Kami tetap melanjutkan penelusuran.
Namun agaknya cuaca hari ini sedang tak bersahabat. Hujan turun bertambah lebat. Air sungai berubah menjadi berwarna coklat dan bertambah deras. Tinggi muka air yang tadinya hanya sebetis kita naik menjadi setinggi pinggang.
“Banjir cah, kita harus segera keluar dari sini”teriak Uut, koordinator team, ditengah suara arus air yang bergemuruh deras.
Akhirnya, sebelum memasuki zona gelap, kami memutuskan untuk kembali ke atas. Dengan susah payah kami berjalan melawan arus air sungai. Jam 2 siang kami tiba kembali di basecamp. Untuk hari ini, penelusuran Goa Ngeleng kami hentikan sementara.
Kelelawar, Guano, dan …..
Hari ke 2 penelusuran, kami memutuskan untuk memasuki gua melalui medan vertikal dengan menggunakan metode single rope technique.Medan vertical sedalam ± 70 meter ini akan kami turuni dengan sebuah tali. Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan oleh penelusur penelusur goa di Indonesia. Hari ini, lagi lagi Uut didaulat menjadi rigging man, orang yang bertugas memasang lintasan tali.
Satu per satu kami menuruni lintasan tali, dan mendarat beberapa puluh meter dari titik kami memutuskan untuk kembali ke atas pada hari sebelumnya. Dari situ kami mulai melakukan penelusuran kembali.
Kali ini cuaca cukup cerah, debit airpun sudah normal kembali.Perlahan lahan kami berjalan menyusuri aliran sungai masuk kedalam goa. Rupanya, cuaca yang cerah membuat udara di bawah bergerak naik keatas. Akibatnya, memasuki zona senja, bau guano terasa sangat menyengat hidung. Perut terasa mual, dan tak dapat ditahan, beberapa anggota team muntah ditempat. Setelah mengamati sekeliling, baru kami sadar, bahwa guano di tempat itu sangat tebal,kira kira semata kaki tingginya, ditambah lagi yang menempel di dinding gua dan mengapung di aliran sungai. Benar benar luar biasa.
Makin kedalam, hidung kami mulai mampu beradaptasi dengan bau guano ini. Rupa rupanya,Kelelawar di goa ini memang sangat banyak jumlahnya. Terlalu banyak, bahkan mereka tak hanya mendiami langit langit goa, tapi juga bergantungan di boulder boulder dan dinding goa. Pantas saja guano yang dihasilkan sebanyak itu.
Namun kelelawar bukanlah penghuni satu satunya dalam lorong gelap ini. Dalam kegelapan, kami menjumpai beberapa jenis serangga seperti jangkrik gua, kala cemeti dan beberapa jenis lainnya. Untuk keperluan identifikasi, kami mengambil sampel dari satwa satwa yang kami temui tersebut.
Kami terus berjalan meyusuri lorong gelap ini. Beberapa kali melewati chamber chamber besar, akhirnya lorong ini menyempit. Air sungai ini masuk kedalam lorong setinggi ± 70 cm dengan kedalaman air kira kira setinggi betis orang dewasa. Berjalan jongkok, kami menelusuri lorong berair ini dengan hati hati.
Lorong ini dipenuhi dengan guano yang sangat tebal. Guano yang mengapung saja kira kira setebal 2 cm. Ditambah dengan guano yang sudah mengendap di dasar lorong. Posisi berjalan jongkok membuat posisi hidung dengan sumber bau ini menjadi sangat dekat. Dapat dibayangkan, bau guano ini menjadi sangat menusuk hidung, dan sangat menggangu pernapasan kami.
Lorong ini makin lama makin menyempit. Kira kira 30 meter dari awal penyempitan lorong, dalam posisi berjongkok , tinggi air sudah berada di dagu kami. Lorong ini tak bisa lagi ditelusuri dengan jalan jongkok. Jika ingin menelusurinya, kita harus merangkak dan merayap perlahan lahan. Tajamnya aroma guano ini membuat kami merasa tak sanggup untuk meneruskan penelusuran dengan merayap. Akhirnya, kami memutuskan untuk menyudahi penelusuraan Goa Ngeleng ini. Pukul 3 siang seluruh anggota team sampai di basecamp.
Kelelahan tak kami pedulikan. Yang ada hanya rasa senang, rasa senang bisa belajar dari alam. Terngiang sebuah ujar ujar yang lazim terdengar di kalangan para pecinta alam.”Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill noting but time”. Kurasakan bahwa kata kata itu sudah tidak cukup relevan lagi dengan visi dan misi kami, Mapala Silvagama, dan konsep pecinta alam saat ini
Dalam pikiranku saat ini, ujar ujar itu kuubah. “Take nothing but knowledge, leave nothing but goodness, and kill nothing but fear”. Ya, ambillah pengetahuan, tinggalkanlah kebaikan, dan bunuhlah ketakutan ketakutan.
MSG 623
sumber : http://dyaniutari.blogspot.co.id
======= ++ ========
Caving Goa NgelengWet, muddy and pungent guano smell, so the state of the cave with a depth of ± 70m from the surface of the land. Efforts to search for them is not as easy as imagined. Flood and physical condition are tired of being a significant obstacle. But is not that the spirit is the essence of all struggles?That afternoon, December 26, 2010, heavy rains and winds accompanied us during our journey towards Goa Ngeleng, Paliyan sub-district, Gunung Kidul. The six of us, I, Uut, Hafidh, Ami, Satrio, and Indra departing from the secretariat Mapala motor.Kurang Silvagama by bicycle over a half hour drive, we finally arrived at the village of Goa Ngeleng Mulusan which are, in the teak forests of approximately 1 km from the highway.The cornerstone of the motorcycle which had been smooth asphalt has now changed into a rocky soil that becek.Kondisi rainy weather, the condition of the streets. Several times our motorcycle tire skid and slip due to a slippery road, until finally the motor really could not be climbed, and forced us guided bike and carry the goods to near the mouth of the cave.the sun had begun to fade when we arrived at the mouth of Goa. Dark began to fall instincts awaken the bats, the cave dwellers winged mammals to seek out food. Thousands of bats circling around in the entrance of the cave with a diameter of approximately 100 m tersebut.Bunyi their noisy voices that seemed to greet us on the ground. We were silent for a moment, amazed amazed at the outstanding attractions, until he realized it was dark and we had to set up a tent to sleep tonight.Deras Rain, Flooding ComingThe next day, we woke up early in the morning to prep tool and breakfast. Vegetable rice and omelet plus a glass of warm milk tasted quite delicious eaten in the morning in the open like this. We ate heartily, to store calories for the day's activities. After breakfast we went to set up the equipment to be brought in later searches.Ngeleng cave itself has two entrances or entrance, the entrance horizontal and vertical vertical.Entrance entrance is located a few meters next to our tent, while to reach the horizontal entrance we have to play and walk approximately 15 minutes away from the tent. In accordance briefing last night, today the five of us that I, Uut, Hafidh, Ami, Satrio will explore this cave from the entrance horizontal and Indra to be porters basecampHorizontal entrance is shaped like a triangle is right in the river flow. Within less than a hundred meters from the entrance horizontal, we found a second entrance, which is a ground limestone debris that forms a hole with a diameter of ± 150 meters. At the base of the hole, where we are standing, have overgrown vegetation with various levels of density and diversity is quite high. In addition to life a variety of wildlife species. We took samples of some types of insects found to be researched and identified its kind.It started raining as we walked along rivers, but the team continued the search. Entering the twilight zone, typical aroma guano, bat droppings, began to seem offensive, but it is not a barrier for us. We continue the search.But apparently the weather today was hostile. Increased heavy rain fell. The river water turns into brown and grow profusely. High water level that had only calf we rose to waist level."Flood cah, we have to get out of here" shouted Uut, coordinator of the team, amid the thunderous sound of rushing water flow.Finally, before entering the dark zone, we decided to go back to the top. With great difficulty we were walking against the flow of river water. 2 pm we arrived back at base camp. To this day, the search Ngeleng Goa us pause.Bats, Guano, and ... ..Day 2 of search, we decided to enter the cave through a vertical field by using a single rope technique.Medan vertical ± 70 meters deep will we go down with a rope. This method is the method most frequently used by searchers searchers cave in Indonesia. Today, again and again Uut asked to become rigging man, person in charge of installing the track rope.One by one we walked down the track ropes, and landed a few dozen meters from the point we decided to go back up on the previous day. From there we began to search back.This time the weather was quite bright, it is a normal debit airpun kembali.Perlahan land we walked down the flow of the river into the cave. Apparently, the weather was sunny and the air at the bottom moves upward. As a result, entering the twilight zone, the smell of guano tasted very pungent nose. Stomach feels sick, and can not be arrested, several members of the team in place of vomiting. After looking around, and then we realized that the guano in the place was very thick, approximately ankle height, plus it stuck to the wall of the cave and float in the river. Truly remarkable.Makin added, our noses started to adapt to this guano smell. Rupa apparently, bats in this cave are very numerous. Too many, in fact they are not only inhabit the cave ceiling, but also hanging in boulder boulder and the wall of the cave. No wonder guano produced much.But bats are not the only inhabitants in this dark alley. In the darkness, we found some insects such as crickets caves, amblypygi and several other types. For identification purposes, we took samples from plant and animal we encountered them.We kept walking meyusuri this dark alley. Several times past the large chamber chamber, finally this corridor narrows. The river water entered into the hall as high as ± 70 cm with a water depth of approximately as high calf adults. Walking squat, we explore this watery corridor with caution.The hallway was filled with very thick guano. Guano which floats just approximately 2 cm thick. Coupled with guano which sedimented at the bottom of the hallway. Walk squatting position makes the position of the nose to the source of this smell became very close. Conceivably, the smell of guano this to be very offensive, and very disturbing our breathing.The hallway is increasingly narrowed. Approximately 30 meters from the start narrowing the hallway, in a crouched position, the high water already on our chins. This hall can no longer be traced to the squat. If you wish to search for, we had to crawl and creep slowly. The sharp scent of guano makes us feel unable to continue the search by edging. Finally, we decided to end this Ngeleng penelusuraan Goa. 3 pm all members of the team arrived at basecamp.Fatigue did not we care about. There was only a sense of fun, for the pleasure of learning from nature. Echoed a commonly heard said said among the nature lovers. "Take nothing but picture, leave nothing but footprints, kill noting but time". I feel that the words are no longer enough longer relevant to our vision and mission, Mapala Silvagama, and the concept of nature lovers todayIn my mind this time, said that said I'll turn. "Take nothing but knowledge, leave nothing but goodness, and kill nothing but fear". Yes, take knowledge, leave yourself a favor and kill the fear of fear.623 MSG