Batu Ratapan Angin
Dieng Plateau Wonosobo, Banjarnegara Jawa Tengah
Sejarah dan Mitos Tentang Batu Ratapan Angin
Dieng merupakan bekas gunung
vulkanik purba yang sudah tidak aktif lagi, dalam sebuah bekas letusan
gunung tentu saja akan meninggalkan sisa pahatan alam berupa
bukit-bukit, bebatuan yang menonjol tak beraturan dan tebing-tebing yang
artistik seperti halnya dengan batu ratapan angin yang berada diatas
telaga warna.
Batu ratapan angin merupakan dua buah
batu besar yang berdampingan dan terletak diatas bukit sekitar Dieng
Plateau Theater lokasi ini menjadi lokasi strategis untuk menikmati
keindahan telaga warna pengilon dengan background hamparan lukisan alam
yang sempurna.
Ibarat kanvas yang telah dilukis,
kesempurnaan lukisan Telaga warna dapat dinikmati secara detail dari
atas batu yang membentuk agak kotak dan satunya lagi berdiri kokoh
disampingnya, hembusan angin sering terasa kencang dan menimbulkan suara
mendesis seperti orang meratapi kesedihan, barangkali itulah kenapa dua
buah batu ini diberi nama batu ratapan.
Masyarakat pada jaman dulu , kejadian
sebuah tempat biasanya selalu dikaitkan dengan sebuah cerita yang
mengiringinya seperti halnya batu ratapan ini yang dikaitkan dengan
cerita tentang kesetiaan dan penghianatan, konon jaman dulu kala
hiduplah seorang pangeran tampan dan putri jelita yang menjadi
pasangannya , mereka hidup rukun damai dengan penuh cinta, perjalanan
hidup merekapun sering menjadi bahan cerita dimana-mana bahkan dijadikan
teladan hidup bagi rakyatnya.
Nasib orang siapa yang tahu, cobaan
hidup siapa yang akan tahu, sampai kejadian tersebut benar-benar menimpa
manusia, seiring perjalanan waktu kisah cinta sepasang umat manusia
tersebut mendapat cobaan yang sangat berat dengan hadirnya orang ketiga
yang menggoda sang putri,intrik-intrik cinta mulai muncul dan mengganggu
hubungan keduanya, sang putri yang semula setia mulai goyah imannya dan
terjerat dalam hubungan asmara terlarang , penghianatan-penghianatan ,
kebohongan dilancarkan untuk menutupi perselingkuhan antara sang putri
dengan kekasih gelapnya.
Sebuah keburukan, ditutupi serapat
apapun akhirnya pasti akan terbuka juga, kabar mulai beredar tentang hal
tersebut dan sang pangeran secara sembunyi-sembunyi menyelidiki sendiri
tentang kebenaran cerita yang disampaikan oleh beberapa ajudannya.
Bagai disambar petir , betapa kagetnya
sang pangeran ketika menyaksikan sendiri pasangan hidupnya sedang memadu
kasih dengan kekasih gelapnya dihutan sebelah atas Telaga warna, bukan
hanya pangeran yang terkejut, sang putri pun tidak kalah terkejutnya
menyaksikan kedatangan suami yang telah dikhianatinya, percekcokan
terjadi antara ketiga orang tersebut, berkali-kali sang putri memohon
maaf pada sang pangeran sambil menangis dan meratap-ratap akan tetapi
kekasih gelap sang putri justru melakukan tindakan keji dengan berusaha
membunuh sang pangeran, sang pangeran yang terkenal sakti mandraguna
menjadi murka dan mengerahkan Ilmu kanuragan yang dimilikinya untuk
melawan kekasih gelap sang putri.
Angin puting beliung yang sangat
dahsyat terjadi dilokasi tersebut, banyak pohon tercerabut dari akarnya, perbukitan itu porak-poranda, disela-sela kemurkaannya sang pangeran
mengutuk keduanya menjadi batu, beberapa lama kemudian sang putri
berubah menjelma menjadi batu yang terduduk dan kekasih gelapnya berubah
menjadi batu yang berdiri.
Setelah kejadian tersebut beberapa lama
kemudian sang pangeran masih sering mengunjungi lokasi ini untuk
memastikan keduanya masih ada disana sebagai pelajaran untuk rakyatnya
tentang kejujuran dan pengkhianatan, angin dilokasi ini terkdang bertiup
kencang dan membentur dinding-dinding bukit yang kemudian menimbulkan
suara aneh , “ini adalah suara ratapan penyesalan dari keduanya” kata
sang pangeran kepada rakyatnya, kemudian sejak saat itu, batu yang
bertengger bersebelahan tersebut di namakan batu ratapan angin.
sumber : http://diengplateau.com