Masjid Agung Sumenep
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Masjid Jamik Sumenep | |
Masjid Agung Sumenep |
|
Letak | Kota Sumenep Madura |
Afiliasi agama | Islam |
Deskripsi arsitektur | |
---|---|
Arsitek | Lauw Piango |
Jenis arsitektur | Masjid |
Gaya arsitektur | Klasik |
Tahun selesai | 1787 |
Spesifikasi | |
Kapasitas | + 2000 jema'ah |
Menara | 1 |
Tinggi menara | 50 meter |
Daftar isi
Sejarah Pembangunan
Masjid jamik Panembahan Somala
atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Jamik Sumenep merupakan salah
satu bangunan 10 masjid tertua dan mempunyai arsitektur yang khas di
Nusantara. Masjid Jamik Sumenep saat ini telah menjadi salah satu landmark di Pulau Madura. Dibangun Pada pemerintahan Panembahan Somala[1], Penguasa Negeri Sungenep XXXI, dibangun setelah pembangunan Kompleks Keraton Sumenep, dengan arsitek yang sama yakni Lauw Piango.
Menurut catatan sejarah Sumenep, Pembangunan Masjid Jamik Sumenep
dimulai pada tahun 1779 Masehi dan selesai 1787 Masehi. Bangunan ini
merupakan salah satu bangunan pendukung Karaton, yakni sebagai tempat
ibadah bagi keluarga Karaton dan Masyarakat, masjid ini adalah masjid
kedua yang dibangun oleh keluarga keraton, dimana sebelumnya kompleks
masjid berada tepat di belakang keraton yang lebih dikenal dengan nama Masjid laju yang dibangun oleh Kanjeng R. Tumenggung Ario Anggadipa, penguasa Sumenep XXI.
Arsitektur
Arsitektur bangunan masjid sendiri, secara garis besar banyak
dipengaruhi unsur kebudayaan Tiongkok, Eropa, Jawa, dan Madura, salah
satunya pada pintu gerbang pintu masuk utama masjid yang corak
arsitekturnya bernuansa kebudayaan Tiongkok. Untuk Bangunan utama masjid
secara keseluruhan terpengaruh budaya Jawa pada bagian atapnya dan
budaya Madura pada pewarnaan pintu utama dan jendela masjid, sedangkan
interior masjid lebih cenderung bernuansa kebudayaan Tiongkok pada
bagian mihrab.[2]
Masjid ini juga dilengkapi minaret yang desain arsitekturnya
terpengaruh kebudayaan Portugis, minaretnya mempunyai tinggi 50 meter
terdapat di sebelah barat masjid, dibangun pada pemerintahan Kanjeng
Pangeran Aria Pratingkusuma. Di kanan dan kiri pagar utama yang masif
juga terdapat bangunan berbentuk kubah. Pada Masa pemerintahan Kanjeng
Tumenggung Aria Prabuwinata pagar utama yang cenderung masif dan
tertutup, dimana semula dimaksudkan untuk menjaga ketenangan jema'ah
dalam menjalankan ibadah diubah total berganti pagar besi.
Untuk Halaman Masjidnya sendiri terdapat pohon sawo (Bahasa Madura: Sabu)
dan juga pohon tanjung. Dimana kedua pohon tersebut konon merupakan
penghias utama halaman masjid karena dipercaya mempunyai makna filosofi
sebagai berikut:
- Sabu adalah penyatuan kata sa dan bu, sa mempunyai maksud shalat dan bu mempunyai maksud ja' bu-ambu
- Tanjung adalah penyatuan kata ta dan jung, ta mempunyai maksud tandha, dan jung mempunyai maksud ajhunjhung
- dan Masjid sendiri bermakna pusat kegiatan dalam mensyiarakan agama Allah.
jadi apabila dijabarkan kesemuanya mengadung maksud dan harapan sebagai berikut :
Shalat ja' bu-ambu, tandha ajhunjhung tenggi kegiatan agama Allah artinya : Shalat lima waktu janganlah ditinggalkan, sebagai tanda menjunjung tinggi agama Allah.
Interior
Ukiran jawa dalam pengaruh berbagai budaya menghiasai 10 jendela dan 9
pintu besarnya. Bila diperhatikan ukiran di pintu utama masjid ini
dipengaruhi budaya China, dengan penggunaan warna warna cerah. Disamping
pintu depan mesjid sumenep terdapat jam duduk ukuran besar bermerk
Jonghans, diatas pintu tersebut terdapat prasasti beraksara arab dan
jawa.
Di dalam mesjid terdapat 13 pilar yang begitu besar yang mengartikan
rukun solat. Bagian luar terdapat 20 pilar. Dan 2 tempat khotbah yang
begitu indah dan diatas tempat Khotbah tersebut terdapat sebuah pedang
yang berasal dari Irak. Awalnya pedang tersebut terdapat 2 buah namun
salah satunya hilang dan tidak pernah kembali.
Filosofi Pintu Gerbang Utama Masjid
Masjid jamik dan sekelilingnya memakai pagar tembok dengan pintu
gerbang berbentuk gapura. Pintu Masjid Jamik berebentuk gapura asal kata
dari bahasa arab "ghafura" yang artinya tempat pengampunan".
Gapura ini syarat akan ornamen yang mempunyai banyak filosofi sebagai
salah satu harapan dari sang Panembahan kepada rakyatnya ketika
menjalankan ibadah.
Diatas gapura akan kita temui ornamen berbentuk dua lubang tanpa
penutup, keduanya diibaratkan dua mata manusia yang sedang melihat. Lalu
diatasnya juga terdapat ornamen segilima memanjang ketaatas,
diibaratkan sebagai manusia yang sedang duduk dengan rapi menghadap arah
kiblat dan dipisahkan oleh sebuah pintu masuk keluar masjid, yang
mengisyaratkan bahwa apabila masuk atau keluar masjid harus memakai
tatakrama dan harus meliha jangan sampai memisahkan kedua orang jema'ah
yang sedang duduk bersama dan ketika imam masjid keluar menuju mimbar
janganlah berjalan melangkahi leher seseorang.
Dikanan kiri gapura juga terdapat dua pintu berbentuk lengkung,
keduanya mengibaratkan sebagai kedua telinga manusia. dimaksudkan agar
para jema'ah masjid ketika dikumandangkannya adzan, bacaan alquran,
ataupun disampaikannya khotbah haraplah bersikap bijak untuk tidak
berbicara dan mendengarkannya dengan seksama. Disekeliling gapura juga
terdapat ornamen rantai, hal ini dimaksudkan agar kaum muslim haruslah
menjaga ikatan ukuwah islamiyah agar tidak bercerai berai.
Wasiat Panembahan Somala untuk Bangunan Masjid Jamik Sumenep
Wasiat ini ditulis tahun 1806
M atau 19 tahun setelah bangunan Masjid ini selesai dibangun. Penulisan
prasasti tersebut juga bertepatan dengan ditetapkannya Pangeran
Abdurrachamn Tirtodiningrat putra Panembahan Somala sebagai Nadir Wakaf
sebelum dia naik tahta menjadi Adipati Sumenep XXXII.
Masjid ini adalah baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma
penguasa Negeri/Karaton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang
memerintah (penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat masjid ini
sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya masjid ini
adalah wakaf, tidak boleh diwarisi dan tidak boleh dijual, dan tidak
boleh dirusak.
Catatan Kaki
- ^ "Beribadah Sambil Melek Sejarah Masjid Agung Sumenep". 3 Juni 2013.
- ^ "Masjid Agung Sumenep". 3 Juni 2013.
Referensi
- Zulkarnaen, Iskandar. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan kebudayaan kabupaten Sumenep.
- Adurrahchman, Drs.1971.Sejarah Madura Selajang Pandang. Sumenep
|
|