Keraton Sumenep
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Karaton Songenep | |
---|---|
Labhang Mesem (pintu tersenyum), merupakan salah satu pintu gerbang menuju kompleks Karaton, terletak di sebelah timur Gedhong Negeri
|
|
Informasi umum | |
Lokasi | Sumenep, Jawa Timur |
Alamat | Jalan dr. Soetomo, Kota Sumenep |
Koordinat | 7°1′27.30″S 113°53′24.74″E |
Keraton Sumenep adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kerajaan Sumenep sendiri bisa dibilang sifatnya sebagai kerajaan kecil (setingkat Kadipaten) kala itu, sebab sebelum wilayah Sumenep dikusai VOC wilayah Sumenep sendiri masih harus membayar upeti kepada kerajaan-kerajaan besar(Singhasari, Majapahit, dan Kasultanan Mataram).
Keraton Sumenep sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja yang berkuasa saat itu, karaton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Karaton yang masih tersisa dan utuh adalah bangunan Karaton yang dibangun oleh Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya yakni Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Ario Notonegoro). Sedangkan untuk bangunan karaton-karaton milik Adipati/Raja yang lainnya, seperti Karaton Pangeran Siding Puri di Parsanga, Karaton Tumenggung Kanduruan, Karaton Pangeran Lor dan Pangeran Wetan di Karangduak hanya tinggal sisa puing bangunannya saja yakni hanya berupa pintu gerbang dan umpak pondasi bangunan Keraton.
Istilah penyebutan Karaton apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan di Jawa saat itu, merasa kurang tepat karena karaton Sumenep memeliki strata tingkatan yang lebih kecil dari bangunan keraton yang ada di Jogjakarta dan Surakarta. Karaton Sumenep sebenarnya adalah bangunan kediaman keadipatian yang pola penataan bangunannya lebih sederhana dari pada keraton-keraton besar seperti Jogjakarta dan Surakarta. Namun perlu dimaklumi bahwa penggunaan penyebutan istilah karaton sudah berlangsung sejak dulu kala oleh masyarakat Madura, karena kondisi geografis Sumenep yang berada di daerah mancanegara (wilayah pesisir wetan) yang jauh dari Kerajaan Mataram. Begitu juga penyebutan Penguasa Kadipaten yang lebih familiar dikalangan masyarakatnya dengan sebutan "Rato/Raja"
Daftar isi
Pendiri
Karaton Pajagalan atau lebih dikenal Karaton Songennep dibangun di atas tanah pribadi milik Panembahan Somala
penguasa Sumenep XXXI. Dibangun Pada tahun 1781 dengan arsitek
pembangunan Karaton oleh Lauw Piango salah seorang warga keturunan
Tionghoa yang mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa 1740 M di Semarang.
Karaton Panembahan Somala dibangun di sebelah timur karaton milik Gusti R. Ayu Rasmana Tirtonegoro dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro
(Bindara Saod) yang tak lain adalah orang tua dia. Bangunan Kompleks
Karaton sendiri terdiri dari banyak massa, tidak dibangun secara
bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para
keturunannya.
Kompleks Bangunan Karaton
Keraton
Sumenep berdiri di atas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma I
(Panembahan Somala) (sebelah timur keraton lama milik Ratu R. Ayu
Rasmana Tirtanegara). Kompleks bangunan Karaton Sumenep lebih sederhana
dari kompleks Karaton kerajaan Mataram, bangunannya hanya meliputi
Gedong Negeri, Pengadilan Karaton, Paseban, dan beberapa bangunan
Pribadi Keluarga Karaton.
Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di
depannya berdiri Gedong Negeri (sekarang Kantor Disbudparpora) yang
didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Konon, Pembangunan Gedong Negeri
sendiri dimaksudkan untuk menyaingi kewibawaan keraton Sumenep dan juga
untuk mengawasi segala gerak-gerik pemerintahan yang dijalankan oleh
keluarga Keraton. Selain itu Gedong Negeri ini juga difungsikan sebagai
kantor bendahara dan pembekalan Karaton yang dikelola oleh Patih yang
dibantu oleh Wedana Keraton.
Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton
Sumenep yaitu Labang Mesem. Pintu gerbang ini sangat monumental, pada
bangian atasnya terdapat sebuah loteng, digunakan untuk memantau segala
aktifitas yang berlangsung dalam lingkungan keraton. Konon jalan masuk
ke kompleks keraton ini ada lima pintu yang dulunya disebut ponconiti.
Saat ini tinggal dua buah yang masih ada, kesemuanya berada pada bagian
depan tapak menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan
jalan masuk yang amat sederhana. Di bagian pojok disebelah timur bagian
selatan Labhang Mesem berdiri Taman Sare (tempat pemandian putera-puteri Adipati) dimana sekelilingnya dikelilingi tembok tembok yang cukup tinggi dan tertutup.
Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur,
sebelah barat berdiri sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban,
dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah barat terdapat sumur. Di depan
sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu Rasmana
Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Namun pada zaman
pemerintahan Sultan Abdurahman Pakunataningrat pendapa tersebut
dipindahkan ke Asta Tenggi dan disana didirikan Kantor Koneng.
Pembangunan Kantor Koneng (kantor kerajaan/adipati) semula mendapat
tentangan keras oleh pemerintah Hindia Belanda karena hal tersebut
bertentangan dengan peraturan pemerintah saat itu. Namun, untuk
menghindari tuduhan tersebut maka Sultan beninisiatif untuk mengubah
seluruh cat bangunan tembok berwarna kuning selaras dengan namanya yaitu
"kantor koneng" (bahasa belanda :konenglijk=kantor raja/adipati).
Pada Masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman, kantor Koneng difungsikan
sebagai tempat rapat-rapat rahasia para pejabat-pejabat tinggi Karaton.
Di sebelah selatan Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk
berdiri pendapa (paseban).
Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun,
pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua
bangunan tersebut dijadikan satu deret. Dahulu, Paseban (pendopo ageng)
difungsikan sebagai tempat sidang yang dipimpin langsung oleh sang
Adipati dan dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi karaton yang waktunya
dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Paseban sendiri diurus oleh mantri
besar dan dibantu oleh kebayan.
Di sebelah selatan Taman Sare berdiri Pendapa atau Paseban dan
sekarang dijadikan toko souvenir. Di sebelah selatan keraton terbentang
jalan menuju Masjid Jamik Sumenep (ke arah barat), sedangkan ke arah timur menuju jalan Kalianget.
Di sebelah timur keraton adalah perkampungan,dan di arah timur jalan
adalah Kampong Patemon. Artinya tempat pertemuan aliran air taman
keraton dan aliran-aliran air taman milik rakyat dan Taman Lake’ (tempat
pemandian prajurit keraton). Dari jalan Dr. Sutomo ke arah timur
terdapat jalan menurun, sebelum tikungan jalan berdiri pintu gerbang
keluar atau Labang Galidigan. Di sebelah barat pintu keluar terdapat
jalan menurun, bekas undakan tujuh.
Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat bertamasya putera-puteri Adipati. Sekarang Sagaran
tersebut ditempati perumahan rakyat dan lapangan tennis. Di sebelah
barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat kereta
kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua
taman.
Komplek keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke
selatan. Hal ini berhubungan dengan legenda laut selatan ( selat Madura )
tempat bersemayamnya Raden Segoro dan analog dengan legenda di Mataram
tentang Nyai Roro Kidul yang konon istri dari Sultan Agung
yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul ( Lautan Indonesia ). Dari
legenda tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal
yang baik harus menghadap ke selatan. Ditinjau dari tapak ( site
planning ) terlihat bahwa kompleks bangunan keraton pada prinsipnya
menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu yang cukup
kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan
agung dan berwibawa dari kompleks ini.
Struktur Penataan Kota
Konsep dasar perencanaan tata kota Sumenep ditentukan berdasarkan
ajaran Islam : hablum minallah wa hablum minannas artinya berhubungan
dengan Allah dan berhubungan dengan manusia. Maksudnya alun-alun sebagai
pusatnya. Bila menghadap lurus ke barat dimaksudkan kita berhubungan
dengan Tuhan ( kiblat di Masjidil haram ) dan kita temukan Masjid jamik.
Sebaliknya bila kita menghadap ke timur dimaksudkan berhubungan dengan
manusia dan kita dapatkan keraton Sumenep. Hal ini juga dapat dikaitkan
dengan ajaran agama Hindu yang mengatakan bahwa timur, arah tempat
matahari terbit adalah lambang kehidupan, jadi tempat manusia di alam
dunia. Sebaliknya barat tempat matahari terbenam adalah lambang
kematian, lambang akherat, dan lambang ketuhanan.
Prasasti Karaton Sumenep
Prasasti keraton Sumenep berisi wasiat Panembahan Somala tentang
kompleks bangunan Karaton dan sekitarnya. Prasasti tersebut ditulis pada
tahun 1200 H atau tahun ba' Bulan Muharram dengan huruf arab dan
sekarang masih tersimpat di Museum Karaton Sumenep.
Tahun Hijriah Nabi SAW. 1200 (tahun ba') dibulan Muharram, inilah
bangunan-bangunan (tempat tinggal) serta tanah-tanah wakaf Pangeran
Natakusuma Adipati Sumenep. Semoga Allah SWT memberi ampun baginya dan
kedua orang tuanya. Inilah bangunan serta tanah yang tidak dapat dirusak
dan tidak dapat diwaris sebabb bangunan (termasuk tanah tersebut)
adalah wakaf yang diperuntukkan untuk kebutuhan orang fair dan orang
miskin. Saya memberi perintah kepada sekalian keturunan, atau kalau
tidak ada sanggup, kepada lainnya guna memperbaiki mengawasi dan
memlihara bangunan-bangunan dan tanah tersebut, bagi keturunan lainnya
yang telah memlihara dan mengawasi wakaf itu semoga Allah SWT,
mengaruniai keselamatan dunia maupun akherat.
Warisan Budaya
Selain memiliki kemegahan bangunan, Karaton Sumenep juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. antara lain :
- Tari Gambuh,
Pada awalnya tari Gambu lebih dikenal dengan Tari keris, dalam
catatan Serat Pararaton tari Gambu disebut dengan Tari Silat Sudukan
Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada para
pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian tersebut
pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut Raden Wijaya pada
perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam
suatu acara pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu
dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan. Para pengikut Raden
Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan para
Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan
kemenangan berada pada pengikut Rade Wijaya.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan.
Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden
Mas Rangsang Panembahan AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing
Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat
peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh
seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran
Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekiotar tahun 1630,
diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan
sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah
istilah menjadi tari Gambu (dalam logat Sumenep).
- Tari Moang Sangkal,
Mowang berarti membuang, Sangkal berarti sukerta, dan sukerta artinya
gelap (sesuatu yg menjadi santapan sebangsa setan, dedemit, jin
rayangan, iblis, menurut ajaran Hindu). Sedangkan sangkal adalah
mengadopsi dari bahasa Jawi Kuno yang maksudnya Sengkala (sengkolo).
Jadi sangkal yang dimaksudkan pada umumnya di Songennep adalah : bila
ada orang tua mempunyai anak gadis lalu dilamar oleh laki-laki, tidak
boleh ditolak karena membuat si gadis tersebut akan “sangkal” (tidak
laku selamanya).Pada awalnya tari Mowang Sangkal agak keras geraknya
yang diiringi dengan gamelan dengan gending ”sampak” lalu mengalir pada
gending ”oramba’-orambe’” yang mengisyaratkan para putri keraton menuju
ke ”taman sare”. Dan kemudian gerakannya tambah halus, gerakan yg lebih
halus inilah mengisyaratkan para putri sedang berjalan di Mandiyoso
(korridor keraton keraton menuju Pendopo Agung Keraton). Pada umumnya
kostum yang dipakai adalah warna ciri khas Songennep, merah dan kuning,
karena perpaduan warna tersebut mengandung filosofi ”kapodhang nyocco’
sare” yang maksudnya ”Rato prapa’na bunga” (raja sedang bahagia).
sedangkan paduan warna kostum merah dan hijau atau kuning dan hijau
folosofinya ”kapodang nyocco’ daun” maksudnya ”Rato prapa’na bendhu”
(Raja sedang marah).
- Odeng rek-kerek, salah satu kostum penutup kepala seorang laki-laki yang diciptakan oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat yang tak lain dimaksudkan untuk merendahkan martabat pemerintahan Kolonial Belanda ketika menjajah Sumenep kala itu, "rek-kerek" dalam bahasa Madura mempunyai arti anak anjing (patek).
Referensi
- Zulkarnaen, Iskandar. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan kebudayaan kabupaten Sumenep.
- Adurrahchman, Drs.1971.Sejarah Madura Selajang Pandang. Sumenep
|