Fenomena Api Yang Tak Kunjung Padam Sejak Jaman Majapahit
Sharing Yaa
Fenomena api yang tak kunjung padam sejak jaman Majapahit ini berada di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Namanya Kayangan Api. Selain faktor alam yaitu adanya gas Bumi, juga konon api ini ada karena unsur mistis. Fenomena geologi alam itu kini menjadi salah satu destinasi wisata ikon Kabupaten Bojonegoro. Tepatnya berlokasi di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem.
Kayangan Api berjarak sekitar 15 km dari Kota Bojonegoro dengan rute Bojonegoro - Dander - Ngasem. Sebelum masuk kawasan ini, pengunjung hanya diminta membayar ongkos parkir. Api tak kunjung padam itu muncul dari balik bebatuan yang dibatasi lingkaran beton.
Di sekelilingnya, terdapat empat pilar dan empat bangunan berbentuk candi kecil. Api yang muncul tak terlalu besar pada pagi hari. Kobaran api lebih besar pada sore atau malam hari.
Sekitar 50 meter dari api abadi tersebut, terdapat sumur yang dinamai Sumur Blekutuk. Sumur itu berisi air yang tampak layaknya air mendidih terus - menerus. Bukan hanya bentuknya, suaranya juga sama seperti air mendidih. Bau belerang sangat kuat tercium dari air yang tak jernih itu. Meski demikian, sumur yang telah dipagari ini aman bagi pengunjung.
Secara ilmiah, api tersebut bersumber dari gas Bumi yang tersulut api sehingga terus menyala. Memang, perut Bumi di kawasan tersebut mengandung gas dan minyak Bumi yang cukup banyak.
Namun, Mbah Djuli, juru kunci Kayangan Api, punya kepercayaan yang berbeda. Mbah Djuli menuturkan, dulu terdapat seorang pembuat benda pusaka Kerajaan Majapahit bernama Mbah Kriyo Kusumo. Setelah bertahun - tahun membuat benda pusaka di perkampungan, Mbah Kriyo Kusumo kemudian bertapa dan tirakat di tengah hutan. Dia membawa api dan menyalakannya di bebatuan, tepat di sebelah tempatnya bersemedi. Api itulah yang menyala hingga saat ini dan menjadi cikal bakal Kayangan Api.
Sejak pindah ke hutan, Mbah Kriyo Kusumo dikenal dengan nama Mpu Supo. Dialah yang membuat benda - benda pusaka Kerajaan Majapahit seperti keris, tombak, payung tombak, dan lain - lain. Selain api untuk menyepuh benda - benda pusaka, Mpu Supo juga memanfaatkan air dari Sumur Blekutuk untuk mendinginkan benda - benda pusaka.
Mengapa jarak antara api dan sumur ini jauh, itu karena Mpu Supo sudah memperhitungkan waktu yang cukup antara penyepuhan dan perendaman benda pusaka.
Mbah Djuli mengaku sering menyaksikan keajaiban di Kayangan Api. Di antaranya, saat memfoto api tersebut pada petang atau malam hari, dia mendapati api tersebut berbentuk benda - benda pusaka seperti keris atau payung pusaka. Bahkan, pernah juga api tersebut berwujud Putri Sri Wulan, putri penjaga Kayangan Api.
Menurut keyakinan Mbah Djuli, Mpu Supo tidak meninggal karena di sana tidak terdapat satu pun makam.
"Mpu Supo itu muksa atau berubah wujud sepanjang masa menjadi wujud yang lain. Sering datang tamu, mengaku ditemui seorang tua yang memberi pusaka dan diminta datang ke sini. Saya yakin orang tua itu adalah Mpu Supo yang berubah wujud. Saya sering sampai malam menemani tamu yang benar - benar ingin napak tilas atau tirakat di tempat ini," terang pria paruh baya yang menjadi juru kunci sejak tahun 1977 ini.
Mbah Djuli juga meyakinkan saya bahwa Kayangan Api adalah fenomena aneh tapi nyata. "Pertama, api ini tak pernah padam meskipun hujan. Kedua, walaupun ada sumber api yang besar, pohon - pohon di sekitarnya tetap subur. Ketiga, air di Sumur Blekutuk ini ternyata tidak panas meskipun tampak mendidih. Keempat, volume air sumur tersebut stabil sepanjang musim, tak pernah meluap atau kering," terangnya.
Kabarnya, tak sembarang orang boleh mengambil api dari Kayangan Api. Izin hanya untuk orang dan acara khusus. Itu pun diawali ritual tertentu, yaitu selamatan dan pagelaran seni tayub ( tayuban ).
Misalnya, upacara Jumenengan Ngarsodalem Hamengku Buwono X. Sebelum pengambilan api dari Kayangan Api, diselenggarakan selamatan dan tayuban dengan gending - gending Jawa khusus kesukaan Mpu Supo, yaitu gending Iling - Iling, Wani - Wani, dan Gunungsari.
Bisa dibayangkan mistisnya karena saat gending - gending itu dilantunkan, tak seorang pun boleh menemani sinden tayub ( waranggono ) menari. Entahlah, tampaknya, diyakini bahwa Mpu Supolah yang menemani sang sinden. src
sumber : http://www.belantaraindonesia.org