Jalur Pendakian Suwanting
MERBABU VIA SUWANTING: JALUR PENDAKIAN FULL SINYAL
Oleh:
Heri
Rasa rindu yang kian tak tertahankan akan segar udara
dingin pegunungan menjadikanku berani menetapkan hari untuk melangkah.
Rencana pendakian telah kutetapkan.
Baik hari maupun tempatnya. Lama tidak menginjakkan
pada setapak yang asing dan samar. Beberapa rute pendakian untuk gunung-gunung
yang terjangkau sudah tidak lagi mengundang rasa ingin[1].
Maka aku pun mencari informasi tentang jalur-jalur baru. Hingga pada akhirnya
menjelang musim pendakian ada informasi yang samar bahwa telah dibuka jalur
baru ke gunung Merbabu, yaitu jalur Swanting.
Di tengah usia yang tidak muda lagi, maka aku pun
menyiapkan sebaik-baiknya. Dua minggu cukup untuk
menyusun langkah, baik persiapan fisik, mental maupun dana yang akan
menopangnya. Telah sekian bulan aku
tidak lagi menginjakkan kaki pada dataran tinggi. Oleh karena itu segalanya
harus dipersiapkan secara masak-masak.
Pada
awalnya banyak yang berminat dan ingin gabung dengan ekspedisi Merbabu via Swanting ini.
Namun, menjelang tiba
hari yang ditentukan, jumlah aggota yang pasti berangkat hanya dua orang. Mereka adalah
aku pribadi (sering dipanggil “pak”, karena
memang aku seorang pendidik) dan ada satu muridku (Enggar).
Minggu,
05 April 2015 tepat pukul 07.00 segala persiapan telah usai. Perbekalan dan peralatan
telah selesai aku packing. Namun Enggar belum juga terlihat. Rencana awal
memang akan berangkat sepagi mungkin, karena segala sesuatunya masih samar dan
asing. Aku menunggu dalam cemas. Namun telah kutekadkat, seandainya Enggar
tidak datang, maka tepat pukul 08.00 aku akan berangkat sendiri.
Tepat pukul 07.30, Enggar tiba di rumah. “maaf pak,
tadi jam 06.30 baru tiba, semalam masih di Klaten”. Kumaklumi situasinya.
Segera kutata perlengkapan di motor kesayangan. Hingga
tepat pukul 08.00, kami berdua meninggalkan Solo menuju Ketep Gardu Pandang. Karena menurut informasi yang
masih samar, dukuh Swanting tidak begitu jauh dari tempat tersebut. Para
pedagang yang berada di sekitar Ketep katanya telah tahu tentang dukuh Swanting.
Sekitar
1,5 jam perjalanan, sampailah kami di Ketep Gardu Pandang.
Aku tidak berhenti dan mencoba mencari tahu tentang
keberadaan desa Swanting. Jalur Ketep Gardu Pandang menuju Kopeng buatku tidak
terlalu asing. Maka aku juga yakin bahwa dukuh tersebut akan ketemu. Menurut
informasi bahwa base camp berada di desa Sambiroto, dukuh Swanting. Desa itu
aku telah tahu. Tinggal mencari dukuhnya saja. Sekitar tiga kilo meter dari
Ketep Gardu Pandang menuju arah Kopeng, kulihat belokan yang bertuliskan “Base Camp Merbabu dukuh Swanting”.
Dengan yakin aku pun membelokkan
motor sesuai dengan keterangan tersebut. Dari jalan beraspal kemudian berganti
dengan cor-beton. Sepansang jalur cor-beton sepanjang 1,5 km yang penuh dengan
kelokan, tikungan, naik serta turun menghantar kami tiba di base camp Swanting.
Lega rasanya karena ternyata tidak terlalu sulit untuk menemukan base camp ini.
Ramah penduduk setempat menyambut kami, menjadi obat lelah dan kecemasan.
base camp merbabu swanting |
Para pemuda yang tergabung dalam paguyuban “Karang Taruna” menerima, menyambut dan
mempersilahkan kami dengan sangat-sangat sopan, ramah dan penuh dengan rasa
kekeluargaan.
Langkah pertama untuk memantapkan nyali adalah
menggali informasi sebanyak-banyaknya. Medan baru dengan tanpa pengalaman dan
tidak dengan orang yang pernah menanjak di jalur ini, maka informasi menjadi
sangat penting. Jalur ini pada mulanya adalah jalur penduduk yang melakukan
ritual ke puncak Merbabu. Maka jalur ini medannya cukup terjal. Untuk penduduk
setempat hanya membutuhkan waktu 3-4 jam. Jalur ini belum memiliki ijin resmi
dari pihak Taman Nasional Gunung Merbabu. Makanya, retribusi untuk setiap
pendaki hanya Rp 3.000 ditambah biaya parkir motor Rp. 5.000. Karena jalur ini
belum resmi maka tidak ada karcis, tidak juga ada asuransi. Namun soal
tanggungjawab, pengelola jalur ini boleh diacungi jempol[2].
Satu hal yang sangat berkesan di base camp ini adalah
penerimaan mereka. Walau baru pertama bertemu namun seolah-olah kita telah lama
kenal. Hingga keakraban yang terjalin pun begitu dekatnya.
Usai ngorol-ngobrol dengan penjaga base camp, tepat pukul 10.50 kami memulai
pendakian. Mengawali misi ini, kami sangat santai karena sesungguhnya kami
sedang terpesona. Kami disambut dengan
sapaan penduduk yang luar biasa akrabnya. Setiap kami menyapa penduduk, mereka dengan ramah dan
senyum selalu mengundang kami untuk berkenan singgah di rumahnya. Sungguh ini
lah yang menjadikan perberbedaan dengan jalur pendakian lainnya. Keramahan
penduduk Swanting kiranya akan menjadi daya tarik utama jalur ini.
Sekitar
8 menit meninggalkan base camp dan menyusuri jalan kampung, kita
dihadapkan pada persimpangan. Kami mengambil arah kiri. Sedangkan arah kanan atu
jalan yang bagus akan menghantar pada kampung sebelah. Sekitar 10 menit kita
menyusuri jalur ladang penduduk. Lalu kami ketemu dengan batas hutan yang masih
sangat lebat. Hutan pinus dan cemara dengan pepohonan yang rapat. Sekitar 5
menit kami menyusuri setapak hutan ini, ternyata kami telah sampai di Pos I,
yaitu Lemba Lempong[3].
pos i lemba lempong |
Di pos ini memiliki area yang cukup luas untuk
mendirikan tenda. Pemandangan yang disajikan pun sudah cukup menarik. Ada
keindahan perkampungan yang kalau malam hari pasti menyajikan panorama gerlap
lampu neon. Tempat yang datar dengan kanopi-rimbun pepohonan. Juga hamparan
padang rumput luas yang nyaman untuk tiduran. Untuk sampai di pos ini pun hanya
membutuhkan waktu tempuh tidak kurang dari 25 menit. Di pos ini sinyal HP juga
masih sangat kuat. Dari pengalaman pribadi jalur ini adalah jalur pendakian
dengan sinyal yang paling kuat. Sepanjang perjalanan dari base camp sampai Pos
III, SMS tetap lancar. Mungkin HP mereka-mereka yang sudah canggih, tetap bisa on line. Tetapi punyaku hanyalah HP
jadul.
Sekitar 10 menit kami beristirahat. Lalu kami
meneruskan langkah. Setapak terlihat jelas. Namun medan kian menanjak. Waktu
tempuh dari Pos I ke Pos II sekitar 60 menit/ 1 jam. Sepanjang jalur ini, kami
melewati 3 selter, yaitu secara berurutan Lemba Gosong, Lemba Cemoro dan Lemba
Ngrijan. Masing-masing selter memiliki area yang dapat digunakan untuk
mendirikan tenda antar 1-3. Sepanjang jalur masih diwarnai dengan pemandangna
hutan yang lebat.
selter ke iii seblum pos ii, lemba ngrijan |
Sekitar pukul 13.00, kami tiba di Pos II, yaitu Pos Lemba
Mitoh. Pos ini menyuguhkan panorama yang lebih ajib dari pada Pos I. Panorama
lembah terlihat, sedangkan punggungan bukit dan hutan yang menghijau asri
terlihat di sisi kanan dan kiri. Di pos ini juga memiliki area untuk mendirikan
tenda sekitar 6-7. Area yang cukup luas.
pos ii, lemba mitoh |
Pada waktu itu aku sempat ngobrol dengan beberapa
pendaki yang nenda di pos ini. Mereka
mengeluhkan bahwa jalur ini adalah jalur yang berat. Waktu tempuh yang
diceritakan oleh pengelola tidak sesuai dengan kenyataan. “orang sini bilange
hanya 4 jam untuk sampai puncak. Kami aja dari pos 2 ke pos 3, butuh waktu 4
jam. Terus sampai di pos 3, kami melihat sabana dengan puncak yang masih sangat
jauh. Kami perkirakan bahwa waktu tempuh dari pos 3 ke puncak sekitar 4 jam. Jadi
yang diceritakan oleh pengelola itu sebenarnya adalah waktu tempuh dari pos 3
ke puncak. Tapi mase kan udah niat
nanjak. Dinikmati saja”.
Aku pun bertanya, “memang mas-mase sudah sampai puncak?”
“Belumlah, kami baru sampai di Pos III.”
Dari keterangan itu, aku menjadi ciut nyali. Untungnya
Enggar tidak mendengar keluhan pendaki-pendaki yang sudah turun tersebut. Di
pos ini, kami beristirahat cukup lama. Perjalanan siang memang lebih menguras
tenaga. Untungnya, sepanjang jalan kami dilindungi oleh kabut yang terus
mengurung dan menaungi. Sekitar pukul 14.00, kami melanjutkan perjalanan.
Petualangan ini mesti kami tuntaskan.
Tanjakan kian dahsyat, tanjakan tanpa bonus. Terus
naik dengan kemiringan antara 25-40 derajat[4].
Sungguh medan yang tidak mudah untuk pendaki yang seusiaku. Aku dan Enggar
sepakat untuk gantian membawa tas kerir, sebagai tas utama pengangkut
perlengkapan utama. Setiap usai melangkah sekitar 10 meter kami berhenti untuk
mengatur nafas. Perjuangan yang luar biasa.
Sekitar 1 jam meninggalkan Pos II, kami bertemu dengan
selter Lemba Manding. Di selter ini dapat digunakan untuk mendirikan
tenda sekitar 3-4. Cukup terlindung dari sinar matahari dan angin kencang.
Namun disarankan untuk tidak mendirikan tenda di selter ini.
Selepas Lemba Manding, medan makin menantang, tanjakan
curam dengan kemiringan 40-55 derajat. Belum lagi diperparah dengan setapak
yang licin. Wajarlah karena jalur ini tertutup rapat, sehingga sinar matahari
sulit menembusnya. Harus ekstra hati-hati. 40 menit dari Lemba Manding, kami
sampai di selter berikutnya, yaitu Dampo Awang. Selter ini, bisa
digunakan untuk peristirahatan sementara. Kalau pun mau mendirikan tenda,
selter ini hanya bisa menampung maksimal 2 tenda.
selter terakir sebelum pos iii, dampo awang |
Cuaca siang dengan perut yang belum terisi penuh,
menjadikan kami kian sempoyongan. Target kami adalah Pos III. Di pos tersebut
ada mata air. Sehingga kami dapat memasak secara leluasa. Dengan sisa-sisa
tenaga, kami terus melangkah. Bagiku selama kaki masih mau melangkah maka
sejauh apapun medan pendakian pada akhirnya akan terselesaikan juga.
Sekitar pukul
16.00, kami telah keluar dari batas hutan mandingan. Kami dihadapkan pada
tanjakan sabana. Hati pun bergirang-senang. Pasti sebentar lagi Pos III. Namun
tenaga yang hampir punah menjadikan niat tidak juga menjadi kenyataan. Di depan
mata sudah terlihat penanda mata air. Tetapi kaki tak juga segera mencapainya.
Keinginan yang kuat tak juga menegakkan raga yang memang sudah sempoyongan.
Akhirnya, kami putuskan bahwa aku akan duluan mencapai Pos III, sedangkan
Enggar akan pelan-pelan menyusul yang sekalian akan membawa air. Tepat pukul
16.30, aku pun tiba di Pos III, yaitu Pos Swanting.
nyampe di pos iii, swanting |
Pos ini sangat idial untuk mendirikan tenda. Cukup
luas. Bisa menampung sekitar 20 tenda. Kalau beruntung bisa menikmati keindahan
sunset. Tapi pada saat ini, kami
belum beruntung. Dekat dengan sumber air. Bila fisik dengan keadaan normal
hanya membutuhkan waktu tempuh 5 menit. Tetapi bila tenaga sudah nyaris habis,
maka butuh waktu yang lama. Kendati aku dan Enggar masih bisa terus menjaga
komunikasi. Namun Enggar tidak muncul-muncul. Hingga tepat pukul 16.50, Enggar
sampai di Pos III. Lega rasanya.
Segera kami mencari tempat tenda yang paling nyaman.
Tidak menunda lama, kami dengan cepat mendirikannya, memasak, membuat api
unggun, sambil menikmati lagu-lagu dari M3 Player. Tentunya, sambil terus
ber-SMS ria dengan orang-orang tercinta.
Dengan demikian dapat kami katakan bahwa waktu yang
kami butuhkan dari base camp sampai pos 3 adalah 6 jam. Namun kalau mau
dirinci, sebenarnya yang kami butuhkan adalah:
1. Base camp – Pos I, Lemba Lempong : 23 menit.
2. Pos I – Pos II, Lemba Mitoh : 60 menit.
3. Pos II – Selter Lemba Manding : 60 menit.
4. Lemba Manding – Selter Dampo Awang : 30 menit.
5. Dampo Awang – Pos III, Swanting : 30 menit.
Jadi
perjalanan kami sekitar 3 jam 23 menit. Waktu yang lainnya adalah untuk
istirahat. Sebuah
pendakian yang tergolong sangat-sangat santai.
Hindangan malam telah siap. Kami pun
makan malam dengan nikmat, yaitu kentang rebus dengan lauk istimewa. Hingga
kami pun kekenyangan. Sekitar pukul 20.00, Enggar telah mendahului dengan
dengkur. Sedangkan aku masih sibuk SMS-an dengan isteri tercinta sambil
menikmati panorama malam yang indah luar biasa. Terang bulan (tgl 16/ bulan
purnama-1) yang bersanding dengan taburan bintang. Angin manja, bukit dengan
deretan sabana yang maha luas dan tarian pepohonan hutan. Serta di kejahuan
terlihat kerlipan lampu-lampu kehidupan penduduk lintas daerah. Sungguh
panorama yang ajib. Keren.
Malam masih berjaga. Tapat pukul 02.30, aku terjaga
dan segera menyiapkan sarapan. Rencana pagi ini, kami akan attact summit sekitar pukul 03.30. Raga yang masih malas-malasan
terpaksa menawar target. Akhirnya kami berangkat tepat pukul 04.00. Cuaca pagi
ini didominasi badai yang lembut. Sesekali angin kencang dan membawa kabut
tebal. Namun lebih seringnya mendapat cuaca yang bersahabat.
Indahnya
panorama pegunungan saat fajar yang
nampak remang-remang di bawah naungan cahaya purnama-1 menjadi daya dorong yang
luar biasa. Rapuh raga dan penat badan terkalahkan dengan seketika. Kami berdua bergerak cepat
meninggalkan kepenatan itu dan melesat menuju setapak yang samar. Setapak masih kecil, belum terlalu kentara. Untungnya setiap
melewati pohon kantigi hampir selalu ada penanda berupa arah dari plat seng. Setiap kali melihat tanda
itu kami yakini sebagai medan yang benar.
Medan jalur dari Pos III menuju Puncak didominasi oleh
sabana dengan tetap menyusuri punggungan bukit. Menurut penduduk setempat
punggungan bukit itu berjumlah 9. Menurut kepercayaan penduduk setempat legenda
nama Kenteng Songo, sebagai puncak
tertinggi Merbabu berasal dari jalur ini. Kenteng berarti bukit. Maka ada 9
bukit. Nama kentang songo berarti bukit yang kesembilan. Kami tidak banyak
beristirahat dan membuang waktu. Target golden sunrise mesti tercapai. Kami hanya
berhenti untuk mengatur nafas. Misalkan kami nekat berhenti lama, pasti akan
kedinginan karena terpaan angin yang cukup kencang.
sabana merbabu swanting |
Hingga
akhirnya, tepat pukul 05.00 kami tiba di puncak Triangulasi. Lima menit
kemudian, kami tiba di puncak Kenteng
Songo (3.145 Mdpl). Syukur Tuhan atas penyertaan-Mu. Di sini kami bertemu
dengan beberapa pendaki yang nge-kem di puncak. Kami pun saling berbagi cerita.
Persahabatn yang khas anak gunung.
menunggu sunrise merbabu |
Keindahan alam saat gelap berganti terang bila dilihat
dari ketinggian memang selalu luar biasa. Hanya ada decak kagum.
Pagi ini tepat pukul 05.30 indah panorama sunrise menyambut kami. Hanya ada rasa syukur atas keindahan yang boleh kami
nikmati dan alami.
berdua kami sampai di puncak merbabu. sunrise |
Pelan
dan pasti, matahari bersinar dengan cerahnya. Mentari pagi ini, berhasil
menghalau gumpalan awan hitam dan menyingkirkan kabut putih pegunungan. Aku dan
Enggar bertekat untuk menikmati keindahan sabana sepanjang perjalanan turun. Segera
setelah mentari bersinar dengan lantang, kami pun memutuskan untuk kembali
mengayunkan langkah turun ke peradaban.
Sepanjang perjalanan melewati deretan sabana Merbabu
via Swanting ini, hati hanya bergetar, terkagum-kagum, terpana dan terkesima. Hamparan
sabana yang begitu luas membawa aku secara pribadi berimajinasi ke alam yang
tidak terbahasakan. Sekitar 45 menit kami turun dan sampailah di tenda
tercinta.
sabana merbabu swanting |
sabana yg keren |
Bernaung
di bawah awan tipis yang sejenak menghalangi terik matahari, kami membongkar
tenda dan kembali berkemas-kemas untuk meneruskan langkah pulang. Tepat pukul 08.30 kami meninggalkan Pos III. Melangkahkan kaki
dengan keyakinan penuh bahwa sore ini kami akan segera bertemu dengan orang-orang yang senantiasa
mencintai kami. Menyusuri setapak yang menurun-sempit,
licin dan rapuh-mudah longsor, kami harus ekstra hati-hati.
tenda tercinta di pos iii swnating merbabu |
Satu per satu selter telah terlewati. Hingga tepat
satu jam, kami telah sampai di Pos II. Sekitar 30 menit kami beristirahat,
sambil menikmati perbekalan yang masih buanyak. Perut yang terisi menjadikan
tenaga pulih. Kembali kami pun melangkah. Sekitar 40 menit, kami telah tiba di
Pos I. Kembali kami mencoba menghabiskan perbekalan. Namun apa daya, perut
punya daya tamping maksimal. Hingga akhirnya kami putuskan untuk segera turun
ke base camp. Beristirahat di sana lalu pulang ke rumah. Dari Pos I ke base
camp membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Cukup singkat.
Adapun waktu tempuh perjalanan turun dari puncak
sampai base camp adalah sebagai berikut:
1. Puncak – Pos III, Swanting : 45 menit.
2. Pos III – Pos II, Lemba Mitoh : 60 menit.
3. Pos II – Pos I, Lemba Lempong : 40 menit.
4. Pos I – Base Camp : 15 menit.
Jadi waktu tempuh yang dibutuhkan untuk perjalanan turun
sekitar 2 jam 40 menit. Cukup singkat. Tetapi semua tergantung pada kemampuan
fisik para pendakinya.
Sesampainya di base camp, kami disambut oleh
pengelola. Ada penerimaan yang sangat bersahabat. Segelas teh telah menanti. Kami
pun banyak bercakap, berbagi pengalaman. Mereka juga meminta masukan. Tujuannnya
agar pengelolaan jalur ini semakin professional. Jalur ini akan masih banyak
mengalami perubahan dan perbaikan. Sekitar 60 menit kami ngobrol. Lalu kami pun
berpamitan untuk meneruskan perjalanan. Meliuk kembali motorku di jalan
beraspal dan tepat pukul 14.00, aku telah kembali tiba di rumah. Saatnya beristirahat,
memulihkan tenaga. Agar besok bisa kembali bekerja dengan segar. Terimakasih Merbabu
via Swanting, setapakmu telah mengajari banyak hal tetnag arti hidup dan cara
mengisinya. Semoga ada waktu untuk kembali belajar pada setapak yang sama.
[1] Harianku aktif sebagai
karyawan. Aku bekerja di salah satu sekolah swasta Solo. Maka untuk terus bisa
menyalurkan hobi mendaki gunung, biasanya aku lakukan di gunung-gunung yang
terjangkau (maksudnya adalah dekat dengan kota Solo dan dapat dicapai dengan
waktu tempuh hari Sabtu-Minggu). Oleh karena itu gunung yang paling sering aku
daki adalah Lawu, Merapi dan Merbabu.
[2] Waktu aku di sana ada
satu pendaki yang tersesat, dan pihak pengelola dengan cekatan langsung
menyusur kembali dan berjuang untuk segera menemukan. Pada waktu itu, tengah
malam pendaki yang tersesat karena salah jalur sudah ditemukan.
[3] Pada jalur ini, banyak
nama pos dan selter yang menggunakan nama “Lemba”, saya tidak sempat menanyakan
apa yang dimaksud dengan “Lemba”. Apakah itu maksudnya Lembah (karena salah
penulisan) ataukah istilah khas dari dukuh ini.
[4] Menapaki jalur Merbabu
via Swanting ini, mengingatkanku pada jalur Rinjani via Sembalun, yaitu tujuh
bukit penyesalan. Trek yang naik terus, tanpa bonus. Dengan medan licin, hutan
lebat yang membutuhkan tenaga ekstra.