Sejarah Tentang Candi Cetho, Karanganyar
Banyak sekali peninggalan sejarah tentang agama hindu di
Indonesia, jika kita mendatangi satu-satu tempat tersebut tak cukup
dalam waktu yang singkat. Butuh waktu lama pastinya, untuk menggali
informasi secara langsung.
Terutama di daerah Jawa Tengah, dapat disebut sebagai daerah yang berjuta budaya dan sejarah peninggalan kebudayaan Indonesia. Bagi masyarakat sekitar sudah bukan hal asing lagi keika mengunjungi candi-candi di Jawa.
Salah satu peninggalan sejarah di Jawa tengah adalah di kota Karanganyar, Yaitu Candi Cetho.
Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi,
Kabupaten Karanganyar. Komplek candi sering dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitar atau penduduk setempat sebagai tempat ziarah maupun tempat
pemujaan. Candi Ceto
dibuat pertama kali oleh Van de Vlies pada tahun 1842. Berdasarkan
keadaannya saat reruntuhannya diteliti, candi ini diperkirakan sudah
berusia tidak jauh berbeda dari Candi Sukuh, yang cuup berdekatan lokasinya.
Kompleks
percandian saat pertama kali ditemukan reruntuhan batu pada 14
teras/punden bertingkat, memanjang dari barat ke timur. Pembaruan pada
akhir 1970-an dilakukan oleh Sudjono Humardani,asisten pribadi Suharto
mengubah banyak struktur asli candi, meski konsep punden berundak tetap dipertahankan. Beberapa obyek baru hasil pembaruan yang dianggap sudah tidak original adalah gapura di depan bagian kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta Phallus, dan bangunan kubus ada bagian puncak punden. Kemudian pada masa bupati karanganyar, Rina Iriani menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada abagian timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.
Sekarang
kompleks candi ceto, terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum
gapura besar berbentuk candi bentar, terlihat dua pasang arca penjaga.
Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua
masih berupa halaman dan aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng
Krincingwesi, leluhur masyarakat dusun ceto. Pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi dengan aksara Jawa Kuno berbunyi Pelling Padamel
irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut
iku. Tafsiran dari tulisan tersebut adlaah fungsi candi untuk menyucikan
diri (ruwat) dan peyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu pada tahun
1397 Saka atau dalam Masehi 1475 Masehi. Diteras ketujuh terdapat sebuah
tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura
raksasa, surya Majapahit. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam
semesta sedangkan penis merupakan simbol pencpiptaan manusia. Terdapat
penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Pada aras
ke delapan terdapat arca phallus ( disebut “kuntobimo”) disisi utara
dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Pemujaan terhadap
arca ini melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan
yang melimpah atas bumi. Dan yang terakhir adalah aras ke sembilan
merupakan aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Disini terdapat
bangunan batu berbentuk kubus.
Nah, itulah beberapa penjelasan dari Sejarah Candi Ceto. Jangan lupa
ketika anda ke solo mampir kesini untuk menelisik lebih jauh lagi
tentang pengetahuan sejarah peninggalan berbudaya di Indonesia.
sumber : http://www.jalansolo.com
Especially in the area of Central Java, can be referred to as an area of immense cultural and historical heritage of Indonesian culture. For the communities are not foreign anymore keika visited temples in Java.
change much of the original structure of the temple , although the concept punden retained. Some new object updates the results are considered to have no original is the gate in front of the complex, the buildings of wood hermitage, sculptures attributed as Sabdapalon, Noyo, Brawijaya V, and Phallus, and no part of the cube building punden peak. Then at that time regent karanganyar, Rina Iriani put a statue of Goddess Saraswati, the contribution of the Gianyar regency, on the eastern half of the temple complex, on punden higher than building a cube.
History About Cetho, Uji
A lot of history about the Hindu religion in Indonesia, if we come to one place is not enough in a short time. Took a long time to be sure to dig up information directly.
Especially in the area of Central Java, can be referred to as an area of immense cultural and historical heritage of Indonesian culture. For the communities are not foreign anymore keika visited temples in Java.
One of the historical relics in central Java city is in Uji, Namely Cetho . Cetho located in the hamlet of Ceto, Gumeng Village, District Vessel, Province of Central Java. The temple complex is often used by people around or locals as a place of pilgrimage and a place of worship. Candi Ceto
was first created by Van de Vlies in 1842. Based on the current
situation examined ruins, the temple is believed to have gone not much
different from the old Sukuh , the Simply nearby location.
Temple complex when first discovered the stone ruins on a 14-core / multi-storey staircase, stretching from west to east. Renewal at the end of the 1970s conducted by Delong Humardani, personal assistant Suharto
change much of the original structure of the temple , although the concept punden retained. Some new object updates the results are considered to have no original is the gate in front of the complex, the buildings of wood hermitage, sculptures attributed as Sabdapalon, Noyo, Brawijaya V, and Phallus, and no part of the cube building punden peak. Then at that time regent karanganyar, Rina Iriani put a statue of Goddess Saraswati, the contribution of the Gianyar regency, on the eastern half of the temple complex, on punden higher than building a cube.
Now CETO temple complex, consisting of nine tiers of the railroad. Before the gate of the temple-shaped moments, seen two pairs of statues guard. The first level is the page after entering the gate of the temple. The second level is the third level of a page and there petilasan Krincingwesi flows, the ancestral village community CETO . On the right wall of the gate there
are inscriptions in Old Javanese letters make sounds Pelling Rikang
tirtasunya book hawakira ya goh monks sometimes missing from it linker. Interpretation
of the text're functioning temple to cleanse themselves (ruwat) and
peyebutan year of manufacture gate, which in 1397 Saka or in AD 1475 AD.
There seventh diteras a stone cleaner horizontally at ground level that reflects the giant tortoise, solar Majapahit. Turtle is a symbol of creation of the universe while the penis is a symbol of human pencpiptaan. There are depictions of other animals, like Mimi, frogs and crabs. On
the eighth floor there phallus sculpture (called "kuntobimo") the north
side and a statue of King Brawijaya V in the form Mahadeva. The cult of this sculpture symbolizes gratitude and hope for fertility and abundant on earth. And the last is the ninth level is the highest level as a place of prayer for climbing. Here there is a cube-shaped stone building.
Well, that's some explanation of history Candi Ceto. Do not forget to solo when you stop by here to browse for more about the cultural heritage of historical knowledge in Indonesia.