Lebih
dari dua ratus tahun yang lalu, sebuah taman pada masa itu, yang
merupakan masa yang penuh keindahan dan rahasia, berdiri sebagai lambang
kejayaan Raja Mataram. Memang bukan asli arsitektur Jawa atau
Nusantara. Namun keindahan ciptaan bangsa Potugis itu tetap bermakna dan
menjadi simbol keajaiban budaya manusia.
Dua ratus tahun silam, Taman Sari yang
berarti “taman yang indah” adalah sebuah tempat rekreasi dan kolam
pemandian atau disebut pula pesanggrahan bagi Sultan Yogyakarta beserta
seluruh kerabat istana.
Terletak tidak jauh dari kompleks Keraton
Yogyakarta saat ini, walau kondisinya cukup memprihatinkan sebagai
salah satu situs peninggalan sejarah, taman yang setengahnya tinggal
reruntuhan itu tetap banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun
mancanegara.
Mengutip dari Babad Mangkubumi, Taman
Sari ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi
pada tahun 1683 (silsilah kerajaan Mataram) menurut penanggalan tahun
Jawa atau tahun 1757 Masehi. Taman itu berdiri, tepat bersamaan dengan
berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (sejarah kerajaan Mataram).
Pesanggrahan Taman Sari dibangun setelah
Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan Hamengku Buwono sekian
lama terlibat dalam persengketaan dan peperangan. Bangunan tersebut
dimaksudkan sebagai bangunan yang dapat dipergunakan untuk menenteramkan
hati, istirahat, dan berekreasi. Meskipun demikian, Taman Sari ini juga
dipersiapkan sebagai sarana/ benteng untuk menghadapi situasi bahaya.
Di samping itu, bangunan ini juga digunakan untuk sarana ibadah. Oleh
karenanya Pesanggrahan Taman Sari juga dilengkapi dengan masjid,
tepatnya di bangunan Sumur Gumuling.
Kompleks Taman Sari yang menempati lokasi
seluas lebih dari 12 hektare berarsitektur dan relief perpaduan antara
gaya arsitektur Hindu, Budha, Islam, Eropa, dan Cina itu selesai
dibangun pada tahun 1765 Masehi. Untuk memberi makna pada setiap
bangunan, Sri Sultan Hamengku Buwono I waktu itu memberi nama
masing-masing bangunan yakni Keraton Pulo Kenanga, Masjid Taman Sari dan
Pulo Penambung yang terapung di atas air, kolam pemandian dan gedung
tempat tidur Sri Sultan dan Permaisuri.
Dalam Babad Memana dan serat rerenggan,
pengadaan bahan bangunan pembangunan Tamansari dipimpin Rangga Prawiro
Sentiko, Bupati Madiun. Sedang pengawas pelaksanaan pembangunan
dilakukan Tumenggung Mangundipuro.
Dalam catatan sejarah, pada tahun 1812
beberapa bangunan hancur akibat serangan Inggris dan tahun 1867 terjadi
gempa bumi yang juga menghancurkan beberapa bangunan di kompleks Taman
Sari. Namun saat ini keagungan masa lampau itu sirna oleh menjamurnya
rumah-rumah penduduk di sekitarnya, kompleks Taman Sari sesungguhnya
menjadi tak jelas.
Bangunan itu, memiliki nama masing-masing
sesuai dengan fungsi atau kegunaan, seperti Gapura Agung adalah pintu
masuk menuju kompleks Taman Sari yang dilengkapi dengan empat gedung
kembar yang berfungsi sebagai pos penjagaan dan disebut pecaosan serta
ada tempat ganti pakaian abdi dalem yang sehabis menjalankan tugas
penjagaan yang disebut paseban.
Kolam pemandian terletak di sebelah
selatan masjid membujur dari utara ke selatan terdiri dari kolam
pemandian yang disebut Umbul Kawitan, Umbul Pamuncar, Umbul Panguras.
Umbul Panguras adalah kolam pemandian
khusus bagi Sri Sultan, sedangkan Umbul Pamuncar adalah kolam pemandian
yang disediakan bagi permaisuri, dan Umbul Kawitan untuk putra-putrinya
Raja.
Bangunan lain Gedung Cemeti, Taman
Ledoksari merupakan tempat peraduan dan tempat yang sangat pribadi untuk
raja. Dalam sebuah rumor, menyebutkan, Taman Sari memiliki terowongan
yang ujungnya tembus ke pantai selatan yang disebut Parangkusuma dan
berfungsi sebagai sarana persiapan penyelamatan jika terjadi peperangan.
Satu bangunan yang menyiratkan perpaduan
arsitektur Portugis dan Jawa adalah Sumur Gumuling, Bentuknya menyerupai
gedung teater melingkar dan tepat di tengah bangunan, terdapat telaga
buatan (Segaran) terdapat puing bangunan besar dan luas.
Di salah satu sisinya terdapat tangga
setapak yang gelap menjuju lorong bawah tanah Taman Sari yaitu Sumur
Gumuling. Di ujung lorong terus menuju atrium (bilik) bundar yang
terbuka bagian atasnya. Di tengah dasar atrium ada kolam kecil seperti
sumur. Ruang kecil di sisi barat dari kedua galeri ini dipakai sebagai
masjid. Jika dilihat dari keunikan struktur bangunan ada kemungkinan
tempat itu didesain sebagai tempat meditasi dan pengasingan diri.
Selain itu menurut mitos, terowongan
tersebut juga berfungsi sebagai jalan pertemuan antara Sultan dengan
Penguasa Laut Selatan yaitu Nyai Roro Kidul.
Di tempat tinggal raja, dulunya
disediakan ruang membatik, ruangan pementasan tari Bedoyo dan Srimpi,
dengan atap terbuka sehingga Raja dan kerabatnya bisa menikmati
pemandangan kota dan sekitarnya.
Pemugaran
Taman Sari terhitung sebagai satu dari
100 situs dunia yang terancam hancur. Jika ini terjadi maka Keagungan
budaya dan seni masa lampau, tak akan bisa dipertahankan. Karena itu,
berbagai sumber dana dikucurkan untuk membenahi peninggalan kuno situs
kompleks Taman Sari.
Atas jasa Jogja Heritage Society The
Calooste Golbenkian Foundation Portugal, yang memang bergerak di bidang
bangunan peninggalan Portugal di dunia, mengulurkan tangannya untuk
membantu renovasi Taman Sari. Kebetulan, Umbul Binangun yang saat ini
sedang dilakukan renovasi besar-besaran memang berarsitektur Portugal,
dan dua lainnya direnovasi dari dana APBN dan APBD DIY.
Sementara, dana dari APBN diusulkan untuk
memugar gerbang dan urung-urung (lorong) Pulo Panambang dan gerbang
Taman Umbul Sari. Adapun dana lain yang akan mengucur dari APBD DIY
diproyeksikan untuk mendanai pembangunan Sumur Gumuling dan Pulo Cemeti.
Menurut informasi yang diperoleh, Pemda
DIY sudah memugar komplek Taman Sari sejak tahun 1977, dan lewat dana
APBN, Dinas Purbakala melakukan pemeliharaan setiap harinya.
Persoalan pertama yang harus dipecahkan
adalah memindahkan 2.500 rumah warga yang berjejal di kawasan Taman
Sari. Warga yang sudah tinggal puluhan tahun di tanah kraton tersebut
tidak bisa begitu saja dipindahkan.
Ketua Unit Keraton Yogyakarta Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala, Eka Hadiyana menjelaskan, renovasi
Taman Sari harus dilakukan secara bertahap, karena Sultan HB X yang saat
ini memerintah Ngayogyakarta, tidak ingin perbaikan Taman Sari justru
menghilangkan auranya.
Karena itu untuk memugar Taman Sari,
bukan berarti memolesnya. Tetapi menatanya kembali. Air di Umbul
Binangun yang terlihat keruh dan berlumut dikuras dan lapisan-lapisan
hasil renovasi sebelumnya, dibuka kembali. Eka menuturkan dengan
dikomando langsung oleh orang Portugis, keaslian arsitektur Portugis itu
akan terkuak.
“Setelah dilakukan pengangkatan lapisan
pertama di Umbul Binangun, maka kita justru mengetahui bahwa di lapisan
dasar, terdapat sumber mata air,” ucapnya.
Menurutnya, meski debit air saat ini menjadi sangat kecil, dulunya kolam ini sengaja diciptakan di atas sumber mata air.
Selain itu, tim renovasi juga menemukan
lobang penghubung antarkolam pemandian. “Yang dulunya hanya dua,
ternyata saat digali, ada tiga lobang yang menghubungkan kolam di utara
dengan selatan,” jelasnya.
Menurutnya, menunggu hasil renovasi
memang tidak bisa cepat. Paling tidak akhir tahun 2004, Umbul Binangun
akan kembali keasriannya. “Renovasi bukan untuk memugar tetapi justru
mengembalikan ke bentuk aslinya,” paparnya. Inilah tentang pemugaran
kompleks Taman sari. Selain itu banyak wisata menarik lain di Jogja,
kunjungi dan rasakan betapa indah, nyaman dan eksotisnya kota ini.
Pembangunan Taman Sari
Pembangunan Taman Sari yang lekat dengan
arsitektur Portugis ini ditangkap oleh telinga penduduk asli Yogyakarta
dan diterjemahkan ke dalam berbagai versi cerita. Versi pertama
menyebutkan, seorang bangsa asing terdampar di Mancingan daerah di
pantai selatan Yogyakarta. Masyarakat di daerah tersebut menduga bahwa
orang tersebut termasuk sebangsa jin atau penghuni hutan.
Masyarakat menganggapnya demikian, karena
orang tersebut menggunakan bahasa yang tidak dimengerti. Akhirnya orang
asing itu dihadapkan kepada Sultan Hamengku Buwono II yang saat itu
masih memerintah.
Sultan akhirnya mengambil orang asing
tersebut sebagai abdinya. Beberapa lama kemudian, orang itu bisa
berbahasa Jawa dan mengaku sebagai orang Portugis yang kemudian menjadi
abdi yang mengepalai pembuatan bangunan.
Sultan pun memerintahkannya untuk membuat
benteng. Rupanya Sultan merasa puas dengan hasil kerja orang Portugis
tersebut, dan kemudian menganugrahinya sebagai demang. Maka orang asing
itu mendapat nama Demang Portugis atau Demang Tegis. Dari sinilah, ia
diperintahkan untuk membangun Pesanggrahan Taman Sari.
Versi lainnya, diceritakan bahwa pada
suatu ketika bupati Madiun yang waktu itu bernama Raden Rangga
PrawiraoSentiko, memohon supaya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak
daerah yang harus dibayarkan dua kali dalam setahun.
Bupati Madiun hanya menyanggupi bila ada
permintaan-permintaan khusus Sultan HB I untuk kelengkapan hiasan dan
kemegahan kraton. Sultan pun mengabulkan permohonan itu.
Bupati Madiun itu lantas diperintah untuk
membuat gamelan Sekaten sebagai pelengkap dari gamelan Sekaten yang
berasal dari Surakarta.
Semula gamelan tersebut berjumlah satu
pasang, tetapi oleh karena palihan nagari (1755) gamelan itu dibagi dua.
Satu untuk Kasultanan Yogyakarta dan satu lagi untuk Kasunanan
Surakarta. Di samping itu, Sultan Hamengku Buwono I juga memerintahkan
kepada Bupati Madiun untuk dibuatkan jempana ‘tandu’ sebagai kendaraan
mempelai putri Sultan HB I.
Pada tahun 1684 Raden Rangga Prawira
Sentiko diperintahkan untuk membuat batu bata dan kelengkapannya sebagai
persiapan untuk membangun pertamanan yang indah sebagai sarana untuk
menenteramkan hati Sultan Hamengku Buwono I. Sultan menghendaki hal
demikian karena baru saja menyelesaikan tugas berat (perang) yang
berlangsung cukup lama. Keluarnya perintah Sultan Hamengku Buwono
ditandai dengan sengkalan memet yang berbunyi Catur Naga Rasa Tunggal
(1684).
Pembuatan pesanggrahan itu dikepalai
Raden Tumenggung Mangundipuraodan dipimpin oleh K.P.H. Notokusumo, yang
kemudian hari menjadi K.G.P.A.A. Paku Alam I yang merupakan putra Sri
Sultan dari istri selir yang bernama Bendara Raden Ayu Srenggara.
Pembuatan tempat peraduan dan bangunan
urung-urung (gorong-gorong) yang menuju keraton yang sering juga disebut
Gua Siluman dilakukan pada tahun 1687 dan ditandai dengan candra
sengkala Pujining Brahmana Ngobahake Pajungutan (1687). Sedangkan
pembangunan pintu-pintu gerbang dan tembok diselesaikan pada tahun 1691.
Pesanggrahan Taman Sari diberi tanda
sengkalan memet yang berupa relief pepohonan yang berbunga dan sedang
dihisap madunya oleh burung-burung. Sengkalan memet tersebut berbunyi
Lajering Kembang Sinesep Peksi (1691).
Dalam versi ini, Raden Rangga Prawiro
Sentiko tak mampu menyelesaikan pembuatan bangunan pesanggrahan Taman
Sari karena biayanya lebih besar dibandingkan dengan pembayaran pajak
setahun dua kali.
Oleh karenanya ia kembali memohon untuk
berhenti dan permohonan itu dikabulkan. Sultan kemudian memerintahkan
K.P.H. Notokusumo untuk menyelesaikan bangunan itu atas biaya Sultan
sendiri.
sumber : https://galangkurniaardi.wordpress.com
Surface Keraton Yogyakarta
More than two hundred years ago, a garden at the time, which is a time
full of beauty and mystery, stands as a symbol of the success of the
King of Mataram. It was not the original architecture of java. But the beauty of creation Potugis nation that remained significant and became a symbol of the miracle of human culture.
Two hundred years ago, Taman Sari, which means "beautiful garden" is a
place of recreation and swimming baths or also referred to the Sultan's
camp, along with all the courtiers.
Located not far from the complex Keraton Yogyakarta today, though the
condition is quite alarming as one of the heritage sites, parks with
half of it remains in ruins visited by many domestic and foreign
tourists.
Quoting from the Chronicle Mangkubumi, Taman Sari was built by Sultan
Hamengkubuwono I or Prince in 1683 (the royal genealogy Mataram)
according to the Javanese calendar year or the year 1757 AD. The
park was established, the right together with the establishment Keraton
Yogyakarta Sultanate (the history of the kingdom of Mataram).
Taman Sari homestead built after Giyanti Agreement (1755), ie after the lane for a long time involved in disputes and wars. The building is intended as a building that can be used for reassurance, rest, and recreation. Nonetheless, Taman Sari was also prepared as a means / castle to confront danger. In addition, the building is also used for religious facilities. Therefore Taman Sari also equipped with a mosque, exactly in the building Gumuling.
Taman Sari complex which occupies a site of more than 12 hectares of
architecture and relief blend of architectural styles Hinduism,
Buddhism, Islam, Europe, and China was completed in 1765 AD. To
give meaning to every building, Sri Sultan HB I time it gives the name
of each building the kingdom of the island Kenanga, Masjid Taman Sari
and Riungbandung island floating on the water, swimming baths and bed
building Sri Sultan and Queen.
In the Chronicle consuming and fiber decoration, building materials
procurement Kimberly Vasquez led the development of surface Sentiko,
Regent Madiun. Was superintendent of development do Mangundipuro Minister.
In historical records, in 1812 some of the buildings were destroyed by
the invasion of England and the 1867 earthquake which also destroyed
several buildings in the complex Taman Sari. But this time
it's gone past grandeur by the proliferation of houses in the vicinity,
Taman Sari complex indeed become indistinct.
Building, have their names according to their function or purpose, such
as the Great Gate is the entrance to Taman Sari complex is equipped with
four twin building that serves as a checkpoint and called pecaosan and
no place to change clothes courtiers who after stints care called
paseban.
Bathing pool located on the south side of the mosque stretched from
north to south consists of swimming baths called Bannerman First,
Bannerman Binangun, Bannerman emptying.
Emptying water sources is a special bath for Sri Sultan, while bathing
pool Bannerman Binangun is provided for the queen, and Bannerman First
to sons and daughters of the King.
Other buildings Building House, Garden Ledoksari is a contest and a very private place for the king. In
a rumor, mention, Taman Sari has a tunnel that ends penetrate to the
south coast called Parangkusuma and serves as a means of preparing a
rescue in case of war.
A building that implies unity of Portuguese architecture and Java are
Gumuling, shape resembles a circular theaters and right in the middle of
the building, there is a well-made (President) There are great and
spacious building debris.
On one side there are stairs trail that headed dark underground passageways Taman Sari is Gumuling. Hold down the hall toward the atrium (a) round open top. In the center of the base of the atrium there is a small pool as well. The small room on the west side of the second gallery will be used as a mosque. If
seen from the unique structure of the building there is a possibility
where it was designed as a place of meditation and retreat.
In addition, according to the myth, the tunnel also serves as a meeting
between ruler Sultan with the Queen of the South Sea Islands.
The residence of the king, batik was formerly available space, staging
space Bedoyo and Srimpi, with the roof open up the King and his
relatives can enjoy views of the city and surrounding areas.
Restoration
Taman Sari counted as one of the world's 100 sites in danger of collapse. If this happens then the majesty of culture and art of the past, will not be maintained. Therefore, various sources of funds disbursed to fix the ancient relic sites Taman Sari complex.
For the services Jogja Heritage Society The Calooste Golbenkian Portugal
Foundation, which is active in Portugal heritage building in the world,
stretching out his hand to help renovate Taman Sari. Incidentally,
Bannerman Rudo which is currently being carried out extensive
renovations indeed architecture Portugal, and the other two renovated
from the national budget and the budget of DIY.
Meanwhile, funds from the state budget proposed to restore the gate and
culvert (lane) The rest of the island and the gate Sari Bannerman Park. As for the other funds will be allocated from the budget to fund the construction of DIY projected Gumuling and whip the island.
According to information obtained, the government of DIY is a complex
endeavor Taman Sari since 1977, and through the national budget, the
Department of Antiquities perform maintenance every day.
The first question to be solved is transferring 2,500 homes in the congested area of Taman Sari. Residents who have lived for decades in the royal land can not simply be transferred.
Head of Unit Keraton Yogyakarta Archaeological Heritage Preservation
Hall, Eka Hadiyana explain, Taman Sari renovation should be done
gradually, because Sultan HB X which is currently ruled Yogyakarta, do
not want to repair Taman Sari would eliminate the aura.
Therefore, to restore Taman Sari, does not mean polish. But rearrange. Air in Bannerman Rudo which looks murky and muddy layers drained and the results of previous renovation, reopened. Eka said with commanded directly by the Portuguese, the authenticity of Portuguese architecture that will unfold.
"After the removal of the first layer in Bannerman Rudo, then we
actually know that the bottom layer, there is a spring," he said.
According to him, despite the current water flow becomes very small, once the pool is deliberately created in the spring.
In addition, the team also found a hole connecting renovation antarkolam baths. "What
was once just two, apparently when excavated, there are three holes
that connect the pond to the north with the south," he explained.
According to him, waiting for the renovations did not work fast. At least the end of 2004, Bannerman Rudo will return keasriannya. "Renovations not to restore but it returns to its original shape," he said. This is about the restoration of the complex Taman sari. In addition, many other interesting sights in Jogja, visit and feel how beautiful, comfortable and exotic city.
Development Taman Sari
Taman Sari coherent development of Portuguese architecture is captured
by the ear native of Yogyakarta and translated into many versions of the
story. The first version mentions, stranded in a foreign nation Mancingan Yogyakarta province on the southern coast. People in the area suspect that these people including compatriots jin or forester.
People put it that way, because that person is using a language not understood. Finally the stranger was presented to the Sultan HB II who was still ruled.
Sultan finally took the foreign person as a slave. Some
time later, the man could speak Javanese and claimed as the Portuguese
who later became a servant in charge of manufacturing buildings.
Sultan also ordered him to make a fort. Apparently Sultan was satisfied with the work of the Portuguese, and later earned him an expert. Then the stranger had gotten the name or Demat Demat Portuguese Tegis. From here, he was ordered to build Taman Sari.
Another version, is told that at one time governor of Madison, who was
named Raden Kimberly PrawiraoSentiko, begging to be released from the
obligation to pay local taxes to be paid twice a year.
Regent Madiun agreed only if there are special requests for equipment Sultan HB I décor and royal splendor. Sultan also granted the application.
Regent Madiun was then instructed to make the ceremony as a complement of gamelan ensemble Sekaten derived from Surakarta.
The ensemble amounted to a re-install, but because of the transitional (1755) ensemble is divided into two. One for the Sultanate of Yogyakarta and Surakarta Sultanate to another. In addition, the lane I also ordered to Regent Madiun to be made jempana 'stretcher' as a vehicle bride Sultan HB I.
In 1684 Raden Sentiko Kimberly Butler was ordered to make bricks and
accessories in preparation for building a beautiful landscape as a means
of reassuring the lane I. Sultan require such case having just
completed the task (war) which lasted long enough. The exit command lane marked with sengkalan darealdeal which reads Chess Naga Rasa Single (1684).
Making camp was headed by Minister Raden Mangundipuraodan led by KPH
Notokusumo, which later became the Paku Alam I who was the son of the
Sultan's wife concubine named Raden Ayu Srenggara.
Manufacturing base and building contest culvert (culverts) that led to
the palace which is often also called Gua Stealth conducted in 1687 and
marked with the moon sengkala Pujining Brahmin moving Pajungutan (1687).
While the construction of gates and walls were completed in 1691.
Taman Sari marked relief in the form of sengkalan darealdeal flowering trees and honey are inhaled by the birds. Memet milestones sounded leaders Sinesep Peksi Flowers (1691).
In this version, Raden Kimberly Vasquez Sentiko unable to finish the
building making Taman Sari because the cost is greater than the payment
of taxes twice a year.
Therefore it back begging to stop, and the application was granted. Sultan then ordered KPH Notokusumo to finish building the Sultan own costs.