Candi Sukuh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administrasi terletak di wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni.
Candi ini dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan
karena penggambaran alat-alat kelamin manusia secara eksplisit pada
beberapa figurnya.
Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.
Daftar isi
Sejarah singkat penemuan
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.
Lokasi candi
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.
Struktur bangunan candi
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok
pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh
berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim,
pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga
argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang
batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton.
Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi.
Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhan Majapahit, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura
terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun
tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di
atasnya.
Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit..
Teras pertama candi
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia
adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki
makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau
tahun 1437 Masehi.
Teras kedua candi
Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura
terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala yang biasa ada, namun dalam
keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak
beratap dan pada teras ini tidak terdapat banyak patung-patung. Pada
gapura ini terdapat sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut
yang berarti “Gajah pendeta menggigit ekor” dalam bahasa Indonesia.
Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka
didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.
Teras ketiga candi
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan
beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan.
Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka
batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak
sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon
arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip
dengan bentuk vagina
ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan
para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan
mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila
ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang
dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur
sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini
terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masih sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian
relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah
diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.
Relief pertama
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima.
Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang
kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan
keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu
mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan
atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh
wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.
Relief kedua
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah
menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua
orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga
yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan
Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati
Dewa sehingga harus terlahir sebagai para raksasa berwajah buruk. Sadewa
terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena
tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada
Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon
sebelah kanan ada dua ekor burung hantu.
Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan
Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir
dari sorga karena pelanggaran.
Relief ketiga
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar
berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni
Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari
kebutaannya.
Relief keempat
Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama
dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di
pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya
kepada Sadewa untuk dinikahinya.
Relief kelima
Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua
raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa
sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku
pañcanakanya.
Patung-patung sang Garuda
Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di
bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi
dan penjelmaan Dewa Wisnu.
Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang
didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya
terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk
mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.
- Lihat kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta
Beberapa bangunan dan patung lainnya
Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta
relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk
celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria
dan kaum bangsawan berwahana gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia
di dalamnya, di sebelah kiri dan kanan yang berhadapan satu sama lain.
Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita
dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan
melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.
Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut
candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat
patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih
dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.
Referensi
- Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan.
- Suwarno Asmadi (Pemandu Wisata) dan Haryono Soemadi, 2004, Candi Sukuh. Antara Situs Pemujaan dan Pendidikan Seks. Surakarta: C.V. Massa Baru.
- P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Lihat pula
Wikimedia Commons memiliki galeri mengenai:
|
Pranala luar
(Indonesia) Candi Sukuh - TeamTouring
|
|
Kategori:
- Situs Warisan Dunia UNESCO di Indonesia
- Candi Hindu
- Candi di Jawa Tengah
- Kerajaan Majapahit
- Kabupaten Karanganyar
Sukuh
From Indonesian Wikipedia, the free encyclopedia
The temple is a temple complex religious Hindu who is administratively located in the Village area Berjo , Sub Ngargoyoso , Province of Central Java , the former Surakarta , Central Java . The temple is categorized as a Hindu temple since the discovery of objects of worship linga and yoni . This
temple is considered controversial because of its less prevalent and
because the depiction of human genitals explicitly on some figure.
The temple has been proposed to UNESCO to be one of the World Heritage Site since 1995.
Table of contents
A brief history of discovery
Sukuh temple site was first reported in the reign of Great Britain in the land of Java in 1815 by Johnson, resident of Surakarta. Johnson was then tasked by Thomas Stanford Raffles to collect data in order to write his book The History of Java . After the reign of the United Kingdom passed, in 1842 , Van der Vlis, archaeologists Netherlands , doing research. The first restoration began in 1928 .
Temple location
The temple is situated on the slopes of the foot cradle mountain at an altitude of approximately 1,186 meters above sea level at coordinates 07 ° 37, 38 '85' 'south latitude and 111 o 07 ,. 52'65 '' West Longitude. The temple is situated in the village Berjo , Rural Sukuh , districts Ngargoyoso , Lahat regency , Central Java . The temple is located approximately 20 kilometers from the city of Uji and 36 miles from Surakarta .
The structure of the temple building
Sukuh temple building gives the impression of simplicity is striking at the visitors. The impression one gets from this temple is quite different to that obtained from a large temples in Central Java is they Candi Borobudur and Prambanan . The architecture of the temple Sukuh tend to be similar to the cultural heritage Maya in Mexico or omission of Inca culture in Peru . This structure also remind visitors of the forms of the pyramids in Egypt .
Effects simplicity attracts famous Dutch archaeologist, WF Stutterheim , in 1930. He tried to explain it by giving three arguments. First, the possibility sculptor Sukuh but not a bricklayer carpenter from the village and not from the palace . Second, temples made with relatively hurry up less tidy. Third, the political situation is tense with by the collapse of Majapahit , not possible to create a large and magnificent temples.
The visitors entering the main door and entered the gate will see the
most typical form of architecture that is not arranged perpendicular but
somewhat oblique, trapezoidal in shape with a roof on it.
Rocks in this temple slightly reddish color, because the stones are worn is kind of andesite ..
The first terrace of the temple
At first there is the core of the main gate. At this gate there is a sangkala in the Java language that sounds gate Abara blind people . This means that in Indonesian
is the "Gate of the Giant prey on humans". These words have meaning 9, 5, 3, and 1. If we had reversed in 1359 From the year 1437 AD.
Then the second temple
Gate on the second core is damaged. On the right and left
of the gate there is a statue of a doorman or Dwarapala usual, but in a
state of disrepair and had no clear shape again. The gate was not roofed terrace and on this there are not many statues. At this gate there is a candrasangkala in the Java language that sounds elephant tail monks anahut
which means "Elephant pastor biting" in Indonesian. These words have meaning, 8, 7, 3, and 1. If we had reversed in 1378 Saka or year 1456 AD.
The third terrace of the temple
At the core of this party there with great courtyard of the main temple
and some relief on the left and the statues on the right. If
the visitors want to come to this sacred temple master, then the rock
staircase which is relatively higher than the previous stone staircase
must be passed. In addition, the streets are narrow. This architecture is said to deliberately so. For the main temple which is similar to the shape of the vagina
, according to some experts is designed to test the virginity of girls. According to the story, if a girl is still a virgin climb it, then her hymen will tear and bleed. But when she is not a virgin anymore, so when stepping stone terraces, the fabric will be wearing torn and detached.
Just above the main temple in the middle there is a square that appears to be a place to put the offerings. Here there are traces of incense , incense and incense is burned, so it looks still often used to pray.
Then on the left side of the main temple there is a series of reliefs is
the main Sukuh mythology and folklore have been identified as relief Song portrayal . Reliefs sequence is as follows.
The first relief
On the left side is depicted the Sahadewa or Sahadeva, twins Nakula and is the youngest of the five Pandavas . Both are sons of King Pandu Madrim, his second wife. Madri died while Nakula and Sahadeva were little and both nurtured by Kunti, the main wife of Pandu. Kunti then nurture them along with their three sons of Pandu: Yudhisthira , Bhima and Arjuna . This relief depicts Sahadeva who was crouched and followed by a clown
or escort. Faced with Mariam saw a female figure of the goddess Durga who is also accompanied by a clown.
Second Relief
In this second relief carved image of Goddess Durga which has been turned into a giant (giant women) who look terrible. Two horrible monsters; Kalantaka and Kalañjaya join goddess Durga who was angry and threatened to kill Aquarius. Kalantaka and Kalañjaya is the embodiment Angel condemned for not honoring God and should be born as the giant ugly. Naiman tied to a tree and threatened to be killed by the sword because it would not absolve Durga. In the background there Semar seen among others. Look ghostly figure hovering above the trees and there are two pieces to the right of the owl . This
seems to be this horrible painting is a painting in the forest Setra
Gandamayu (Gandamayit) dumps the gods who were expelled from heaven
because of their offense.
Third Relief
In this section illustrated how communication with punakawannya, Semar
faced with a blind hermit named Ni Padapa Tambrapetra and her daughter at the Hermitage Prangalas. Aquarius will cure him of his blindness.
Fourth Relief
Scene in a lovely garden where the Aquarius are strolling with his
daughter Tambrapetra and Ni Padapa and a clown at the Hermitage
Prangalas. Tambrapetra grateful and give his daughter in marriage to Aquarius.
Fifth Relief
This painting is a scene of a power struggle between the two giants Laundromat and Kalantaka and Kalañjaya. Bima with incredible strength lifting the two giants to death with nail pañcanakanya.
Statues of the Garuda
Then on the right side there are two statues of Garuda , which is part of the story quest amerta water (water of life) contained in the Adi Parva , the first book of the Mahabharata . As part of the tail there is an inscription Garuda.
Then as part of the story amerta search in this section there are three
turtle sculpture that symbolizes the earth and incarnation of Lord Vishnu . This shape resembles a tortoise table and there is a possibility it was designed as a place to put the offerings. A truncated pyramid symbolizes the peak of Mount Mandaragiri taken its peak for churning ocean water amerta search.
- See story for playback Sea Amerta
Several other buildings and statues
In addition to the main temples and statues of turtles, eagles and
reliefs, they also found some animal-shaped sculptures wild boar (wild
boar) and elephant bareback. In ancient times the knights and nobility berwahana elephant.
Then there was the building berelief horseshoe with two human figures in it, on the left and right opposite one another. Some
argue that this relief symbolizes the womb of a woman and the figure
symbolizes evil left and right side of the figure symbolizes virtue. But this is not so clear.
Then there is a small building in front of the main temple called the temple Pewara. In the middle, the building is hollow and there is a small headless statue. This sculpture by some circles still is a sacred reason often given offerings.
Reference
- Prof. Dr. RM Ng. Poerbatjaraka , 1952 , Djawi library . Djakarta : Djambatan.
- Suwarno Asmadi (Tour Guide) and Sam Soemadi, 2004 , Sukuh. Among the largest cult and Sex Education . Surakarta : New Mass CV.
- PJ Pollock , 1983 , Kalangwan. Javanese literary Glance . Jakarta: Djambatan.
See also
Wikimedia Commons has media related to: |
External links
(Indonesia) Sukuh - TeamTouring
|
|
Category :