Sebuah penelitian yang telah berlangsung selama enam tahun terakhir
telah mengungkap hal mencengangkan di perutbumi Danau Toba (propinsi
Sumatra Utara). Menggunakan 40 seismometer (radas/instrumen perekam
gempa) yang dipasang di sekeliling Danau Toba selama kurun Mei hingga
Oktober 2008 Tarikh Umum (TU yang dianalisis hingga bertahun kemudian,
tim peneliti gabungan Russia, Perancis dan Jerman mengungkap bahwa di
perutbumi Danau Toba ini masih tersimpan magma. Bubur batu yang panas
membara dalam jumlah relatif besar itu dijumpai berada di kedalaman
lebih dari 7 kilometer dari paras air laut rata-rata (dpl).
Magma di bawah danau itu dijumpai secara tak langsung lewat analisis
gelombang gempa-gempa tektonik kecil yang rutin terjadi di kawasan ini
seiring eksistensi patahan besar Sumatra dan cabang-cabangnya. Tim
peneliti memusatkan perhatian pada gelombang permukaan, yakni gelombang Rayleigh dan gelombang Love, dengan melacak perbedaan kecepatannya. Mereka menemukan gelombang Rayleigh
yang melintas di bawah Danau Toba (periode 5 dan 15 detik) memiliki
kecepatan lebih rendah dibanding yang melewati area lain disekitarnya.
Hal sejenis juga dijumpai pada gelombang Love namun hanya pada periode kecil (5 detik) dan pada kedalaman lebih rendah. Guna menafsirkan perbedaan antara perilaku gelombang Rayleigh dan Love
di bawah Danau Toba, tim peneliti memutuskan untuk ‘melihat’ melalui
gelombang sekunder terpolarisasi baik secara horizontal (SH) maupun
vertikal (SV). Mereka juga kembali menjumpai keanehan lagi, gelombang
sekunder SV pada kedalaman antara 7 hingga 20 kilometer dpl di bawah
Danau Toba memiliki kecepatan lebih rendah. Sebaliknya gelombang
sekunder SH berkecepatan lebih rendah hanya pada kedalaman lebih dangkal
dari 7 kilometer dpl.
Pada dasarnya gelombang gempa akan melaju lebih cepat jika melintasi
media yang padat (batuan) ketimbang media yang cair/setengah cair
(magma). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada kerak bumi di bawah
Danau Toba terdapat magma, yang tersekap dalam kantung magma. Namun tak
puas jika hanya menyimpulkan seperti itu. Mereka mencoba melangkah lebih
jauh untuk mengetahui strukturnya. Setelah melakukan serangkaian
perhitungan dan pemodelan matematis yang rumit dan meninjau juga
hasil-hasil penelitian sebelumnya, mereka berani menyimpulkan bahwa
magma di bawah Danau Toba tersimpan dalam sejumlah lapisan mendatar (sill)
yang bertumpuk mirip kue lapis, tertata pada kedalaman antara 7 hingga
20 kilometer dpl. Pada kedalaman lebih besar dari 20 kilometer dpl pun
diduga masih seperti itu yang menerus hingga kedalaman sekitar 30
kilometer dpl, tempat kerak bumi setempat berbatasan dengan selubung
atas. Sebaliknya pada kedalaman yang lebih dangkal dari 7 kilometer dpl
magmanya tidak tertata seperti itu, melainkan menyelusup di sela-sela
kerak bumi dengan geometri yang kacau-balau. Tim menyimpulkan kawasan
kacau-balau ini adalah pertanda jelas dari masa silam, dari sebuah
letusan gunung berapi yang sangat dahsyat.
Apa pentingnya penelitian ini? Tak lain dan tak bukan ia menegaskan
bahwa Danau Toba sejatinya adalah sebuah gunung berapi. Dan dengan
struktur kantung magmanya yang demikian, ia bukanlah gunung berapi
biasa. Ya. Danau Toba adalah sebuah gunung berapi super (supervolcano), yang aksinya di masa silam sanggup membuat bulu kuduk kita meremang.
Letusan Toba Muda
Danau Toba. Rasanya tak ada manusia Indonesia, terlebih yang pernah
mengenyam bangku sekolah, yang tak pernah mendengar namanya. Inilah
perairan tawar terbesar se-Indonesia bahkan seantero Asia Tenggara.
Danau ini memiliki luas 1.130 kilometer persegi yang menampung air
hingga sebanyak 240 kilometer kubik, bersumber dari aneka mata air
disekelilingnya seiring curah hujan tahunan lebih dari 2.100 mm/tahun
(rata-rata). Paras air danau terletak di ketinggian 906 meter dpl dengan
kedalaman maksimum 530 meter dari paras. Ini menjadikannya sebagai
danau terdalam ke-2 di Indonesia (setelah Danau Matano di Sulawesi) dan
juga danau terdalam keempatbelas di seantero Bumi. Perairan luas ini
dipagari oleh tebing-tebing curam yang ketinggiannya bervariasi antara
400 hingga 1.200 meter dari paras danau, dengan puncak tertinggi
menyembul 1.700 meter di atas paras danau. Air danau ini mengalir di
sudut tenggara sebagai Sungai Asahan dengan debit rata-rata 155 meter
kubik/detik. Besarnya debit air dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik
lewat dibangunnya waduk Sigura–gura (tinggi bendungan 47 meter) dan
waduk Tangga (tinggi bendungan 82 meter) dengan total produksi 426
megawatt listrik.
Di tengah-tengah danau terdapat Pulau Samosir (panjang 45 kilometer,
lebar 20 kilometer), yang sejatinya bukan pulau. Dahulu Samosir
tersambung langsung dengan daratan Sumatra lewat jembatan alamiah (tanah
genting) di sisi barat. Namun romantisme era Hindia Belanda membuat
tanah genting ini dikeruk demikian rupa sehingga Samosir pun akhirnya
benar-benar terpisah dan menjadi pulau yang berdiri sendiri. Di pulau
terdapat dua danau kecil yakni Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang,
membuatnya kerap disebut sebagai danau di atas danau. Selain keunikan
ini, pemandangan indah di sekujur Danau Toba juga disokong oleh sejumlah
air terjun seperti air terjun Sipiso-piso maupun air terjun
Sigura-gura. Sigura-gura adalah air terjun setinggi 250 meter,
menjadikannya air terjun tertinggi se-Indonesia. Panorama yang indah dan
udara yang sejuk menjadikan danau raksasa yang juga jantung masyarakat
Batak ini menjadi tujuan wisata yang populer.
Di balik keindahannya, ada misteri yang tersembunyi di danau ini
semenjak awal peradaban umat manusia. Misteri yang menggetarkan itu baru
terkuak kurang dari seabad silam. Ternyata danau raksasa ini adalah
sebuah gunung berapi. Adalah RW van Bemmelen, geolog legendaris era
Hindia Belanda, yang mengungkapnya pada masa antara 1930 hingga 1939 TU.
Geolog yang sangat populer dengan opus magnumnya The Geology of Indonesia,
buku yang wajib dibaca dalam pembelajaran geologi Indonesia, awalnya
curiga dengan kehadiran ignimbrit yang tersebar pada area luas di
Sumatra bagian utara. Ignimbrit adalah campuran antara debu vulkanik
yang mengeras (tuff) dengan butir-butir batuapung yang bersifat
asam (kaya silikat) demikian rupa hingga membatu. Ignimbrit hanya bisa
hadir kala terjadi letusan gunung berapi yang eksplosif dan berskala
besar sehingga menghempaskan awan panas dalam jumlah besar. Kian
mendekat ke Danau Toba, ignimbrit yang dijumpai kian menebal saja.
Bahkan dijumpai pula tuff yang terlaskan (welded tuff) yang berlimpah, lagi-lagi petunjuk terjadinya letusan berskala besar di masa silam.
Ignimbrit yang tebal di sekitar Danau Toba namun menipis begitu
jaraknya lebih jauh mengesankan bahwa batuan vulkanik itu bersumber dari
tempat yang kini menjadi Danau Toba. Jelas sudah. Danau Toba adalah
perairan tawar raksasa yang menempati sebuah cekungan sangat besar
produk letusan gunung berapi yang sangat dahsyat. Dengan luas cekungan
2.270 kilometer persegi (panjang sekitar 100 kilometer dan lebar sekitar
30 kilometer), maka jelaslah bahwa ia berkualifikasi kaldera. Danau
Toba merupakan perairan tawar yang menempati kaldera tersebut meski
genangannya tak sampai mencakup separuh luas kaldera. Sehingga Danau
Toba adalah danau vulkanik. Ukuran Kaldera Toba yang demikian raksasa
membuat kaldera-kaldera produk letusan dahsyat gunung berapi dalam era
sejarah di Indonesia seperti kaldera Rinjani, Tambora dan Krakatau
menjadi terasa kerdil. Andaikata kaldera raksasa Toba ditempatkan di
pulau Jawa bagian tengah, maka ia akan membentang mulai dari Gunung
Slamet di barat hingga Gunung Sumbing-Sindoro di timur.
Van Bemmelen pula yang memopulerkan istilah Tumor Batak, yakni
gundukan sangat besar tempat dimana Danau Toba berada yang terpisah dari
Pegunungan Bukit Barisan. Dengan Danau Toba sebagai perairan di dalam
kaldera, maka Tumor Batak yang menopangnya pada hakikatnya adalah gunung
berapi yang disebut Gunung Toba. Gunung Toba menjadi salah satu gunung
berapi yang berdekatan/berdiri di atas sistem patahan besar Sumatra.
Patahan besar ini, yang secara kasat mata nampak sebagai Pegunungan
Bukit Barisan, terbentuk seiring tunjaman miring lempeng India dan
Australia yang oseanik terhadap lempeng Sunda yang kontinental dan
menjadi alas berdirinya pulau Sumatra. Patahan ini sekaligus adalah zona
lemah di kerak bumi Sumatra yang memudahkan magma produk pelelehan
sebagian di bidang kontak tunjaman merangsek ke atas.
Di kemudian hari kita kian mengetahui bagaimana lasaknya Gunung Toba
ini yang menjadikannya sebagai gunung berapi super. Dalam kurun 1,2 juta
tahun terakhir telah terjadi empat letusan dahsyat. Letusan terakhir
sekaligus yang paling dahsyat sepanjang sejarahnya adalah Letusan Toba
Muda, yang terjadi 74.000 tahun silam. Letusan Toba Muda juga adalah
letusan terdahsyat yang pernah terjadi di Bumi dalam kurun 27,8 juta
tahun terakhir. Ia memuntahkan tak kurang dari 2.800 kilometer kubik
material vulkanik, lewat letusan dahsyat sedahsyat-dahsyatnya yang
berlangsung selama sekitar dua minggu berturut–turut tanpa hentu. Dapat
dikatakan setiap detiknya Gunung Toba menyemburkan tak kurang dari 4,6
juta meter kubik material vulkanik. Jika suhu magmanya saat tepat keluar
dari lubang letusan berkisar 700 hingga 780 derajat Celcius, maka
energi termal yang dilepaskannya mencapai 500 ribu megaton TNT. Ini
setara dengan 21 juta butir bom nuklir Hiroshima diledakkan secara
bersama-sama di satu titik.
Andaikata
seluruh material vulkanik ini dituang demikian rupa mengubur wilayah
DKI Jakarta, propinsi yang juga ibukota Indonesia itu akan terbenam di
bawah timbunan batu, pasir dan debu vulkanik setebal 4,2 kilometer.
Letusan yang sedemikian dahsyat dengan muntahan material vulkanik
sedemikian besar membuat sejumlah letusan dahsyat gunung berapi
Indonesia di era sejarah seperti Letusan Tambora 1815 maupun Letusan
Krakatau 1883 menjadi terasa kerdil. Bahkan Letusan Kelud 2014
yang terasa demikian menghentak di tahun 2014 TU ini ibarat semut
disandingkan dengan gajah bila dibandingkan dengan kedahsyatan Gunung
Toba saat itu.
Dari 2.800 kilometer kubik material vulkanik yang diletuskannya,
1.000 kilometer kubik diantaranya meluncur deras sebagai awan panas yang
mengalir ke barat dan timur. Awan panas Toba membanjiri kawasan sangat
luas yang membentang dari pantai Selat Malaka di timur hingga pesisir
Samudera Hindia di barat. Meski sudah menjalar jauh dari kaldera,
suhunya masih tinggi, mungkin hingga 500 derajat Celcius. Akibatnya
daratan Sumatra bagian utara pun diubah menjadi segersang Bulan. Segala
kehidupan yang ada tersapu pun terpanggang dan musnah. Endapan awan
panas gigantis inilah yang kini tersingkap sebagai ignimbrit di area
seluas 20.000 kilometer persegi. Ketebalan rata-ratanya 50 meter, namun
sesungguhnya bervariasi tergantung jauh dekatnya dengan Gunung Toba. Di
tepi Danau Toba, ketebalan ignimbritnya mencapai 400 meter. Awan panas
yang mengalir jauh tersebut dipastikan juga ada yang terjun ke Selat
Malaka dan Samudera Hindia, memicu tsunami di kedua perairan itu. Namun
seberapa besar tsunaminya belum diketahui, seiring volume awan panas
yang masuk ke dalam kedua perairan tersebut pun belum diketahui.
Letusan
Toba Muda yang dahsyat itu membentuk kaldera raksasa dengan kedalaman
sekitar 2 kilometer dpl akibat kosongnya kantung magma raksasa Toba,
sehingga tak sanggup lagi menahan bobot tubuh gunung. Namun kaldera
sedalam ini segera ditimbuni kembali oleh 1.000 kilometer kubik material
vulkanik lainnya, yang terlalu berat baik untuk mengalir jauh maupun
membumbung tinggi ke udara. Di dasar kaldera ini ketebalan ignimbritnya
diperkirakan mencapai 600 meter. Dan 800 kilometer kubik material
vulkanik sisanya berupa debu vulkanik halus yang terlontar sangat tinggi
ke udara hingga menembus ketinggian 70 kilometer dpl. Sebagian debu
vulkanik tersebut lantas tertiup angin ke barat dan berjatuhan
menyelimuti area seluas lebih dari 4 juta kilometer persegi. Kawasan
tersebut meliputi India, Semenanjung Malaya, Teluk Benggala, Samudera
Hindia bagian utara, Laut Arab dan Semenanjung Arabia. Ketebalan endapan
debu vulkanik di sini mencapai 10 cm (rata-rata), atau setara dengan
400 kilometer kubik material. Sisanya terbawa oleh sirkulasi angin di
dalam lapisan stratosfer hingga tersebar ke segenap penjuru. Tanpa bisa
dipengaruhi oleh proses-proses cuaca, debu vulkanik ini bertahan hingga
bertahun-tahun di dalam lapisan stratosfer sebelum jatuh kembali ke
permukaan Bumi di bawah pengaruh gravitasi. Sepanjang waktu itu ia
menimbulkan efek lanjutan yang mencekik kehidupan di permukaan Bumi
hingga ke titik yang paling kritis.
Musim Dingin Vulkanik
Masalah terbesar akibat Letusan Toba Muda terletak pada tebaran debu
vulkaniknya ke dalam lapisan stratosfer. Umumnya 10 hingga 30 % dari
material vulkanik yang disemburkan gunung berapi dalam sebuah letusan
dahsyat, terlebih jika tinggi kolom semburannya melebihi 30 kilometer
dpl, akan tetap bertahan di udara karena sudah terlanjur masuk jauh ke
dalam lapisan stratosfer, khususnya jika berupa debu halus. Di saat yang
sama, belerang yang turut terbawa sebagai gas sulfurdioksida akan
bereaksi dengan butir–butir air di udara hingga membentuk tetes–tetes
asam sullfat dalam rupa aerosol. Apa yang selanjutnya terjadi baru bisa
kita pahami setelah dunia memasuki era nuklir lebih dari setengah abad
silam.
Di tengah kancah perang urat-syaraf yang dikenal sebagai Perang
Dingin, dua negara adidaya yang terlibat yakni Amerika Serikat dan Uni
Soviet berlomba–lomba memproduksi senjata nuklir dalam beragam ukuran
dan kekuatan. Untuk menyimulasikan dampaknya dalam berbagai kondisi,
rangkaian eksperimen peledakan nuklir pun diselenggarakan. Selama masa
ujicoba nuklir yang riuh itu diketahui bila senjata nuklir diledakkan di
permukaan tanah ataupun bawah tanah dangkal, ledakannya akan
menghembuskan material ledakan berupa debu dan batu beragam ukuran ke
atmosfer. Ketinggian semburan material ledakan bergantung pada kekuatan
ledakan, semakin semakin besar ledakan nuklirnya maka semakin berlimpah
material ledakannya dan semakin tinggi pula mereka dihembuskan ke langit
bahkan bisa memasuki lapisan stratosfer. Tebaran material ledakan
sanggup memblokir cahaya Matahari selama waktu tertentu sehingga
permukaan Bumi di sekitar lokasi ledakan berubah menjadi remang–remang
atau bahkan gelap gulita. Apalagi jika kekuatan ledakan nuklir itu juga
mengenai benda–benda mudah terbakar seperti minyak, kayu, gas, kertas
dan batubara sekaligus. Asap hasil pembakaran besar–besaran akan
melimpahkan jelaga ke udara yang malah kian memperparah situasi.
Dengan memanfaatkan data–data hasil ujicoba nuklir itu maka pada
dekade 1980–an lima serangkai cendekiawan dengan latar belakang keilmuan
berbeda mencoba merumuskan model matematika komprehensif dan
serangkaian persamaan matematika kompleks yang memprediksikan bagaimana
perilaku sebaran debu dan tetes–tetes asam sulfat dalam jumlah besar di
lapisan stratosfer. Model ini disebut model TTAPS, berdasarkan
pada huruf depan dari lima cendekiawan penyusunnya masing-masing Turco,
Toon, Pollack, Ackerman dan Sagan. Model TTAPS memperlihatkan, karena
berada di dalam lapisan stratosfer maka butuh waktu bertahun–tahun bagi
debu dan tetes–tetes asam sulfat itu untuk turun kembali ke permukaan
Bumi di bawah pengaruh gravitasi Bumi. Selagi masih melayang di lapisan
stratosfer, pada dasarnya debu halus dan tetes–tetes asam sulfat itu
menjadi tabir surya, terutama karena asam sulfat sangat efektif dalam
menyerap cahaya Matahari. Di samping itu tabir surya juga bisa
memantulkan kembali sebagian cahaya Matahari ke langit. Akibatnya albedo
Bumi bakal meningkat dan cahaya Matahari yang diteruskan ke permukaan
Bumi berkurang.
Akibatnya sungguh pelik mengingat cahaya Matahari membawa energi
Matahari yang adalah motor penggerak utama sistem cuaca dan iklim Bumi
sekaligus sumber energi utama makhluk hidup. Berkurangnya intensitas
pencahayaan Matahari akan menimbulkan anomali suhu permukaan, dimana
suhu rata–rata permukaan Bumi bakal merosot dibawah nilai normalnya.
Sehingga Bumi akan lebih dingin, fenomena yang disebut sebagai musim
dingin nuklir. Es meluas dimana-mana, baik di laut maupun di
sungai/danau yang berada di kawasan subtropis. Konsekuensinya tingkat
penguapan pun menurun yang bakal berlanjut pada kacau-balaunya sistem
cuaca. Salah satu dampaknya adalah penurunan jumlah hujan. Ada cukup
banyak tanaman bahan pangan yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu
dimana penurunan suhu 1 derajat Celcius saja bisa menyebabkan penurunan
produksi atau malah bahkan bisa gagal panen. Ditambah penurunan jumlah
hujan, maka eksistensi tabir surya di lapisan stratosfer itu bakal
berdampak pada kekurangan bahan pangan yang akan menimbulkan bencana
kelaparan massal dengan segala dampak berantainya.
Bagaimana jika skenario musim dingin nuklir ala model TTAPS diterapkan pada Letusan Toba Muda?
Letusan Toba Muda menyemburkan tak kurang dari 6 milyar ton gas
sulfurdioksida ke atmosfer. Begitu bertemu dengan uap air di udara, gas
tersebut berubah menjadi 3 milyar ton aerosol asam sulfat. Koalisi
tetes-tetes asam sulfat ini dengan debu vulkanik di dalam lapisan
stratosfer membentuk tabir surya vulkanik yang cukup tebal, hingga
setebal paling tidak 500 meter. Tabir surya ini diperhitungkan memblokir
cahaya Matahari demikian rupa sehingga jumlah cahaya Matahari yang
berhasil diteruskan ke permukaan Bumi kurang dari 1 % terhadap
normalnya. Akibatnya di siang hari bolong pun situasi tetap meremang.
Matahari akan nampak memerah seperti situasi dalam setengah jam jelang
terbenam, meski di tengah hari yang seharusnya terik. Intensitas
pencahayaannya juga anjlok drastis hingga 120 watt per meter persegi di
bawah normalnya. Albedo Bumi pun meroket ke posisi 70 % dari normalnya
30 % dan bertahan hingga sedikitnya 10 tahun pasca letusan. Dalam
situasi tersebut, model TTAPS memperlihatkan suhu rata-rata permukaan
Bumi anjlok hingga bisa mencapai 17 derajat Celcius di bawah normal.
Musim dingin pun berkecamuk, yang bisa disebut sebagai musim dingin
vulkanik. Suhu dingin ini memang hanya bertahan selama sekitar 1.000
tahun pasca letusan. Namun kombinasinya dengan siklus Milankovitch dan
faktor–faktor tak menguntungkan lainnya menyebabkan Bumi seisinya
terseret ke dalam zaman es Wurm utama, meski Bumi baru saja keluar dari
zaman es Wurm awal 20.000 tahun sebelumnya. Zaman es Wurm utama
berkecamuk selama sekitar 50.000 tahun kemudian dan baru berakhir pada
sekitar 20.000 tahun yang lalu.
Kurangnya cahaya Matahari juga menyebabkan tingkat penguapan global
terjun bebas hingga 45 % di bawah normal. Konsekuensinya jumlah uap di
atmosfer pun anjlok hingga 50 % dibawah normal untuk lapisan troposfer
dan hingga 25 % di bawah normal di lapisan stratosfer. Maka curah hujan
pun merosot, yang dalam puncaknya sampai merosot drastis hingga 44
cm/tahun di bawah normal. Berkurangnya hujan amat menyengsarakan
kawasan–kawasan yang dalam keadaan normal pun curah hujannya sudah
kecil. Bahkan hal ini turut mendorong anjloknya paras air laut hingga 40
meter di bawah paras sebelumnya dan bertahan selama 7.000 tahun
kemudian.
Musim dingin vulkanik akibat Letusan Toba Muda berimbas sangat buruk
bagi kehidupan. Dengan intensitas cahaya Matahari kurang dari 1 %
terhadap normalnya, praktis mayoritas tumbuh-tumbuhan berhenti
menyelenggarakan fotosintesis. Ditambah dengan suhu yang teramat dingin,
mereka pun mati perlahan-lahan. Bencana segera menjalar melalui rantai
makanan. Mayoritas binatang juga kelaparan dan pada akhirnya mati
bertumbangan. Anjloknya populasi hewan pun terjadilah, seperti
diperlihatkan dalam analisis genetik yang menimpa populasi simpanse
Afrika timur, orangutan Kalimantan, kera India, harimau dan cheetah.
Manusia, khususnya populasi Homo sapiens arkhaik, turut terkena
dampaknya jua. Analisis genetik memperlihatkan sekitar 60 % dari mereka
tewas dalam bencana ini dan hanya tersisa sekitar 15.000 populasi saja
yang terus berjuang untuk bertahan hidup.
Masihkah Aktif?
Pasca Letusan Toba Muda, kaldera raksasanya mulai tergenangi air.
Dengan curah hujan tahunan masa kini 2.100 mm/tahun dan tingkat
penguapan tahunan masa kini 1.350 mm/tahun, butuh waktu sekitar 1.500
tahun saja untuk menggenangi kaldera ini sebagai Danau Toba. Namun jika
memperhitungkan air bawah tanah dan aliran permukaan dari kawasan
sekitarnya, waktu terbentuknya Danau Toba mungkin saja berlangsung lebih
cepat ketimbang 1.500 tahun pasca Letusan Toba Muda.
Di perutbuminya, kantung magma raksasa Toba hingga kedalaman 7
kilometer dpl nyaris kosong setelah isinya nyaris dikuras habis dalam
Letusan Toba Muda. Namun secara perlahan-lahan magma segar kembali
mengalir ke sini dari dalam lapisan selubung, kemungkinan dari bidang
kontak tunjaman antarlempeng tektonik, dan mengisinya. Lama-kelamaan
jumlah magma segarnya telah cukup signifikan untuk yang mengalir dari
bidang kontak tunjaman. Pengisian magma secara terus–menerus menyebabkan
lapisan-lapisan kantung magma raksasa mulai menggelembung kembali dan
mengangkat massa batuan diatasnya. Proses vulkano–tektonik pun
terjadilah. Lantai kaldera terangkat naik secara asimetris mulai sekitar
33.000 tahun silam pada kecepatan sekitar 1,8/cm. Sehingga lantai
kaldera sisi barat akhirnya menyembul di atas paras danau menjadi Pulau
Samosir. Karena itu di Pulau Samosir masih dijumpai lapisan-lapisan
endapan khas dasar danau. Pengangkatan asimetris ini membuat
lapisan-lapisan endapan tersebut berkedudukan miring antara 5 hingga 8
derajat ke arah barat. Pengangkatan sejenis juga terjadi di lantai
kaldera sisi timur, membentuk blok Uluan. Namun kecepatan
pengangkatannya lebih rendah, yakni hanya 0,5 cm/tahun sehingga ia
tidaklah setinggi Pulau Samosir meski tetap menyembul di atas paras
danau. Kemiringan lapisan-lapisan endapan di blok Uluan pun berlawanan
dengan Pulau Samosir, yakni miring ke timur. Sebagai akibat dari
pengangkatan Pulau Samosir dan blok Uluan maka lantai kaldera di antara
keduanya berubah menjadi lembah sangat curam yang tetap tergenang air.
Kini lembah itu dikenal sebagai Selat Latung.
Selain mengangkat lantai kaldera hingga membentuk Pulau Samosir dan
blok Uluan, magma segar yang mengisi kembali kantung magma raksasa Toba
juga sempat keluar ke permukaan Bumi di beberapa titik. Di tepi kaldera
sisi barat magma itu membentuk Gunung Pusukbukit (1.982 meter dpl) yang
kini diklasifikasikan ke dalam gunung berapi aktif tipe B seiring adanya
sumber uap air (fumarol), sumber gas sulfurdioksida (solfatara) dan
mata air panas di lereng utaranya. Sementara di tepi sebelah utara
terbentuk Gunung Tandukbenua (1.860 meter dpl) yang juga digolongkan ke
dalam gunung berapi tipe B. Sedangkan di tepi selatan terbentuk kompleks
kubahlava Pardepur yang terdiri dari sedikitnya empat kubah lava. Mata
air panas juga dijumpai di sini. Dan di Pulau Samosir sisi barat,
tepanya di antara Gunung Pusukbukit dan kompleks Pardepur, dijumpai
bagian-bagian yang membumbung sedikit, mengindikasikan adanya kubah lava
tersembunyi (cryptodome). Sementara di sisi timurnya khususnya di Semenanjung Tuktuk dan sebelah utaranya juga dijumpai kubah lava.
Apakah saat ini Gunung Toba masih aktif?
Antara ya dan tidak. Pada satu sisi Gunung Toba dikategorikan masih
aktif. Hal itu ditegaskan lagi oleh hasil penelitian gabungan Rusia,
Inggris dan Jerman barusan. Ia masih menyimpan magma di kantung-kantung
magma raksasanya. Namun di sisi lain, Gunung Toba tidaklah seagresif
gunung berapi super lainnya seperti Yellowstone (Amerika Serikat).
Kaldera Yellowstone telah berkali-kali diguncang rentetan gempa dan
naiknya lantai kaldera, indikasi dari pergerakan fluida di perutbuminya
entah berupa magma ataupun cairan hidrotermal lainnya. Sementara kaldera
raksasa Danau Toba tidaklah seperti itu. Dan jika mengacu kepada
sejarah letusan dahsyatnya, Gunung Toba membutuhkan waktu paling tidak
antara 340.000 hingga 765.000 tahun untuk beristirahat dan menghimpun
tenaga sebelum meletus sangat dahsyat kembali. Dengan Letusan Toba Muda
terjadi pada 74.000 tahun silam, letusan dahsyat Gunung Toba yang
selanjutnya barangkali akan terjadi 266.000 hingga 691.000 tahun dari
sekarang.
sumber : http://ekliptika.wordpress.com
Referensi :
- Chesner. 2011. The Toba Caldera Complex. Quaternary International (2011) pp 1–14.
- Petraglia dkk. 2007. Middle Paleolithic Assemblages from the Indian Subcontinent Before and After the Toba Super–eruption. Science vol. 137 (2007) pp 114–116.
- Chesner dkk. 1991. Eruptive History of Earth’s Largest Quaternary Caldera (Toba, Indonesia) Clarified. Geology vol. 19 (1991), pp. 200–203.
- Rampino & Self. 1992. Volcanic Winter and Accelerated Glaciation Following the Toba Super–eruption. Nature, vol 359 (1992), pp. 50–52.
- Rampino & Self. 1993. Climate–Volcanism Feedback and the Toba Eruption of ~74.000 Years Ago. Quaternary Research vol 40 (1993), pp. 269–280.
- Rose & Chesner. 1987. Dispersal of Ash in the Great Toba Eruption, 75 ka. Geology, vol 15 (1987), pp. 913–917.
- Schulz dkk. 1998. Correlation Between Arabian Sea and Greenland Climate Oscillation of the Past 110.000 Years. Nature, vol. 393 (1998), pp. 54–57.
- Rampino. 2002. Super–eruptions as a Threat to Civilizations on Earth–like Planet. Icarus, vol. 156 (2002), pp. 562–569.
- Robock dkk. 2008. Did the Toba Volcanic Eruption of ~74 k BP Produce Widespread Glaciation? Journal of Geophysical Research, submitted.
- Sutawidjaja. 2008. Kaldera “Supervolcano” Toba. Majalah Warta Geologi vol. 3 no. 4 (2008) halaman 20–25.
- Jaxybulatov dkk. 2014. A Large Magmatic Sill Complex Beneath the Toba Caldera. Science, vol 346 no. 6209 (31 October 2014), pp. 617-619.